Friday 28 August 2015

SEJARAH LOKAL DAN SEJARAH DAERAH


Lonsensus, yang dalam bahasa politik di negeri ini sering disebut mufakat, bukan saja jadi pegangan yang didengung-dengungkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga tampaknya dalam lapangan ilmu sosial, khususnya sejarah. Demikianlah umpamanya dengan pemakaian kata sejarah nasional dan sejarah daerah, harus disepakati bahwa maksud dari istilah yang pertama ialah sejarah dari wilayah yang kini disebut Republik Indonesia, dan yang kedua adalah sejarah dari daerah-daerah administratif dari wilayah itu, jadi propinsi. Bahwa propinsi itu adalah suatu putusan administratif politik, yang sejak mulai proklamasi kemerdekaan telah mengalami berbagai perubahan besar (mula-mula jumlah propinsi hanya delapan, sekarang menjadi 33), tampaknya tidaklah terlalu merisaukan.

            Jika sekiranya sejarah nasional diartikan sebagai sejarah dari bangsa Indonesia, maka ditinjau dari kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tahun 1945 atau abad ke-20, maka sejarah nasional hanyalah sejarah yang membicarakan keadaan dari awal abad ini saja dan keadaan sebelumnya, jelas bukan. Dan jika memang demikian maka penamaan sejarah nasional atau sejarah Indonesia yang mencakup zaman dari seluruh daerah yang kini disebut republik Indonesia haruslah diterima tak lebih daripada nama berdasarkan konsensus saja. Konsensus ini tidak pula terlepas dari patokan normatif. Ia ditentukan bukan oleh keharusan logis dari sasaran studi, tetapi oleh tuntutan ideologis. Maka pencampuran konsensus ini dengan pengujian berdasarkan disiplin ilmu sejarah akan menimbulkan kekacauan saja (Abdullah, 1996: 12-13).

            Tetapi kata “sejarah daerah” sebaiknya harus ditinjau ulang. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pengertian yang tidak mudah dirangkul begitu saja. Apakah yang dimaksud daerah?... Dalam pengertian administratif, daerah merupakan kesatuan teritorial yang ditentukan jenjang hierarkinya. Daerah terbawah adalah bagian dari daerah yang di atasnya (kabupaten adalah bagian dari propinsi). Sedangkan dalam pengertian politik, daerah biasanya dipertentangkan dengan pusat, yang dianggap nasional.

            Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa daerah sebagai unit administratif, sering tidak sesuai dengan daerah dalam pengertian etnis kultural. Jika daerah administratif Bali masih dapat dianggap sebagai kesatuan etnis kultural dan Aceh (walaupun Gayo mungkin akan keberatan) mungkin, dengan hati-hati bisa diperlukan begitu pula, maka daerah administratif Sumatera Utara adalah jelas kumpulan dari beragam daerah etnis kultural. Ketidaksesuaian ini akan terus berlanjut apabila diperhitungkan pula bahwa daerah etnis kultural sifatnya selalu bergerak, mobile, dinamis dan tidak ditentukan oleh suatu putusan yang telah dipertimbangkan. Sejarah Minangkabau umpamanya tidaklah identik dengan sejarah Sumatera Barat, sebab yang pertama adalah konsep etnis kultural yang selalu bergerak, sedangkan yang kedua ditentukan oleh politik administratif.

            Daerah dalam pengertian etnis kultural adalah pula yang merupakan suatu unit kesadaran historis, dalam arti bahwa daerah itu masing-masing pada dirinya dan baginya adalah pusat perkisaran sejarah. Tiap daerah etnis kultural bukan saja mengalami kesatuan historis, tetapi juga mempunyai konsep tentang kelampauan yang khas. Jadi penamaan sejarah daerah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dimaksud. Ketidakjelasan pengertian ini, di satu pihak menimbulkan harapan yang tidak sesuai dari sudut keragu-raguan dalam memutuskan sasaran studinya. Sebab itu pemakaian istilah sejarah daerah yang tidak diikuti oleh pembatasan yang jelas sebaiknya ditinggalkan saja (Abdullah, 1996: 14).


            Karena itulah sebaiknya dipakai istilah yang netral dan diharapkan berarti tunggal yaitu sejarah lokal. Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah tempat, ruang. Jadi sejarah lokal hanyalah berarti sejarah dari siatu tempat, suatu lokalitas, yang batasannya ditentukan oleh perjanjian yang diajukan penulis sejarah. Batasan geografisnya bisa suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah mencakup dua, tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa, umpamanya) dan juga dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa. Dengan begini sejarah lokal dengan sederhana dapat dirumuskan sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada daerah geografis yang terbatas (menurut Finberg suatu komunitas, menurut Gonbert suatu desa atau beberapa desa, atau kota kecil atau juga kota ukuran sedang).
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment