Friday 28 August 2015

KONSEP-KONSEP DASAR NASIONALISME, FASISME DAN DEMOKRASI


A. NASIONALISME
            Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin "natio" yang berakar pada kata "nascor" yang berarti 'saya lahir'. Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah gagasan politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Tetapi tampaknya, Zernatto mengambil prinsip `tanah kelahiran' dari pada faktor etnis, agama, ras, bahasa sebagai landasan interpretasi nasionalisme-nya. Kasus Dr. Tio Oen Bik, seorang etnis Tionghoa kelahiran Tuban, yang menyatakan diri sebagai wakil Rakyat Indonesia dalam Brigade Internasional anti fasisme Jenderal Franco dapat mendukung argument bahwa Nasionalisme itu tidak ada kaitannya dengan faktor etnisitas.

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi.

Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar. Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.

Disamping definisi bahasa diatas terdapat beberapa rumusan lain mengenai nasionalisme, di antaranya: (1) Huszer dan Stevenson: Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah airnya; (2) L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa; (3) Hans Kohn: Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.

Beberapa definisi diatas memberi simpulan bahwa nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi. Kesadaran yang mendorong sekelompok manusia untuk menyatu dan bertindak sesuai dengan kesatuan budaya (nasionalisme) oleh Ernest Gellner dinilai bukanlah kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun ia adalah pembikinan bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada.

Dengan gaya berpikir antropologis, Anderson (2002:8-11) menawarkan pandangan yang lebih positif tentang nasionalisme, ia menyatakan bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis dan dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Lebih jauh dia memaparkan bahwa bangsa disebut komunitas karena ia sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan melebar-mendatar, sekalipun ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu ada dalam setiap bangsa. Bangsa disebut sebagai komunitas terbayang (imagined community) karena para anggota bangsa terkecil tidak mengenal sebagian besar anggota lain, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun memiliki garis-garis batas yang pasti dan jelas meski terkadang bersifat elastis. Di luar garis batas itu adalah bangsa lain yang berbeda dengan mereka.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut.

Beberapa bentuk nasionalisme yaitu diantaranya nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").

Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").

Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.

Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRC berpaham komunisme.

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah “national state” adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap Jacobin terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.

Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.

Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.

Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa, suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan, maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.

B. FASISME
            Mussolini dan Hitler, penganut fasisme.Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara.

Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, dalam bahasa Latin fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.

            Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu—di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum—mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.

George Mosse menilai kemunculan fasisme sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivme yang terlihat dari kecenderungannya yang anti-intelaktualsme dan dogmatisme. Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual dan kebebasan berfikir. Liberalisme dan positivme membuat individu ’takut akan kebebasan’ dengan menjadi fasis-menganut fasisme-individu merasa ‘bebas’ setelah melarikan diri dari kebebasan. Ia menikmati kebebasan justru dalam belenggu anti kebebasan.

            Kemunculan fasisme juga merupakan ekses industrialisasi, mordenisasi serta demokratisasi. Kemunculannya merupakan reaksi terhadap berbagai kesenjangan, penderitaan berkepanjangan, rasa ketakutan atau ketiadaan harapan masa depan yang lebih baik. Demokratisasi misalnya, dianggap hanya ilusi dan melahirkan dominasi dan hegemoni struktural minoritas terhadap mayoritas, kebebasan anarkis dan lain-lain. Dalam masa kasus Jerman pada perang dunia I dan II, kemunculan fasisme distimulasi oleh anarki sosial yang diakibatkan kekacauan domestik dan politik internasional.

            Fasisme ditinjau dari akar-akar pemikirannya  tergolong unik. Ia, seperti dikatakan Hayes merupakan percampuran berbagai teori yang paling radikal, reaksioner dan mencakup berbagai gagasan ras, agama, ekonomi, sosial dan moralitas akar-akar filosofis.

            Akar-akar filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzsche, Marinetti, Oswald Spengler, Chamberlain dan lain-lain. Jadi, fasisme memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuknya yang modern dan kontemporer, dan dalam formatnya yang par excellence terjadi ketika Benito Mussolini menguasai Italia, Hitler dengan Nazinya mendominasi Jerman, Franco berkuasa di Spanyol, Tenno Heika memerintah Jepang dan Amerika Latin dimasa kekuasaan Juan Peron.
           
C. DEMOKRASI
            Secara etimologi pengertian demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” yang artinya rakyat dan “kratos atau kratein” artinya kekuasaan atau berkuasa. Jadi demokrasi adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Dalam hal ini demokrasi berasal dari pengertian bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Maksudnya kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi berasal dari kata-kata lain demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), selalu diasosiasikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dewasa ini terjadi kecenderungan global dimana demokrasi tidak sekedar menjadi wacana intelektual (intellec tual discourse) melainkan juga ‘impian’ (obsesi) politik berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang. Mengapa? Berakhirnya perang dingin (cold war) antara negara-negara adi daya-Amerika Serikat dan Uni Soviet (sebelum mengalami disintegrasi)-berdampak positif bagi semaraknya gagasan dan proses demokratisasi di berbagai negara. Berakhirnya perang dingin mengalihkan perhatian dunia dari persoalan militerisasi, perang konvensional, persaingan senjata dan pertarungan ideologis kepada persoalan-persoalan demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM).

Demokrasi kemudian menjadi agenda utama dunia pasca perang dingin. Dunia menjadi begitu peka terhadap masalah-masalah demokratisasi di suatu negara. Maka, bisa dipahami mengapa penyimpangan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di suatu negara-seperti peristiwa Dili, November 1991 di Indonesia atau peristiwa berdarah Tiananmen di Cina mendapatkan sorotan tajam dari dunia internasional. Berakhirnya perang dingin membawa angin segar bagi proses demokratisasi dan penghargaan atau penghormatan yang tinggi terhadap harkat kemanusiaan.

Lambat laun demokrasi diakui sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Dasarnya adalah karena demokrasi sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Demokrasi dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan ‘non-material’ manusia. Nilai-nilai demokrasi akan dapat memanusiakan manusia (humanization of man), sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari ‘nilai-nilai luhur’. Anggapan ini muncul karena berbagai faktor. Di antaranya, penderitaan manusia akibat fasisme, dan faham-faham anti-demokrasi lainnya pada beberapa dekade lalu. Perang Dunia I (1914-1919) dan II (1938-1945) misalnya, merupakan fase sejarah kemanusiaan yang paling tragis dan ironis. Perkembangan fasisme Jerman dan Italia serta Spanyol pada masa itu menyebabkan demokrasi berada pada titik bawah sejarah peradaban manusia. Penderitaan panjang akibat fasisme membuat umat manusia mendambakan sistem yang demokratis.

Runtuhnya rezim-rezim komunis totaliter seperti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur juga merupakan faktor penting yang menyebabkan demokrasi kini menjadi obsesi politik dunia. Keruntuhan rezim-rezim itu, bagibanyak kalangan menimbulkan kesan bahwa demokrasi ternyata merupakan senjata ampuh melawan totaliterianisme dan otoritarianisme serta sistem pemerintahan anti demokratis lainnya.


Keruntuhan Uni Soviet juga membawa isu demokrasi mengalami globalisasi dan internasionalisasi. Rezim-rezim anti demokrasi yang sebelumnya menutup pintu-pintu bagi arus demokratisasi kini lebih terbuka terhadap arus itu. Sebab, menutup diri dari arus demokratisasi akan menyebabkan negara tersebut mengalami terisolasi-teralienasi-dari struktur interaksi politik internasional. Negar itu akan dikucilkan, atau paling tidak akan disorot tajam sebagai negara yang anti demokrasi. Bagi negara-negara berkembang yang memiliki ketergantungan ekonomi dan politik pada negara-negara ‘demokratis’ seperti Amerika dan negara-negara Eropa, menolak konsep demokrasi akan berarti penghentian atau tersendatnya bantuan ekonomi, politik atau militer kepada negara bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA



Abdulgani, Roeslan. (Tanpa Tahun). Nasionalisme Sebagai Faktor Kekuatan Dalam Percaturan Politik Internasional. Jakarta: Prapanca.

Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman. 1985b. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.

Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachtiar, Harsya. 1974. Percakapan Dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.

Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi. Jakarta: PT. Gramedia.

Downs, Robert. 1961. Buku-Buku yang Merubah Dunia. Jakarta: PT. Pembangunan.

E-edukasi. 2009. Paham-Paham yang Berkembang di Dunia. [serial on line]. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=105&fname=sej202_09.htm. [25 Januari 2009].

Kohn, Hans. 1876. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan.

Mestoko, Sumarsono. 1985. Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soeratman, Darsiti. 1965. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern. Yogyakarta: Vita.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Swastika, Kayan. 2007. Sejarah Intelektual Modul Bahan Belajar Mandiri. Jember: IKIP PGRI Jember.

Ward, Barbara. 1933. Lima Pokok Pikiran yang Merubah Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wikipedia. 2009a. Demokrasi. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009b. Fasisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Fasisme. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009f. Nasionalisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. [25 Januari 2009].



William Ebenstein. 1987. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment