Friday 28 August 2015

PERKEMBANGAN NASIONALISME, FASISME DAN DEMOKRASI

Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. Misalnya, mengatakan bahwa istilah bangsa adalah satuan kebudayaan tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama.

Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu homogenitas ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.

Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris, meminjam istilah Benedict Anderson (1991) Imagined Communities merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.

Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu. Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.

Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental, yakni keterikatan oleh prinsip politik, melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.

Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” yang berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.

Dalam sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting dicatat mengingat pada sekitar tahun yang sama (1518—1521) Majapahit mengalami kehancuran yang disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan internal kerajaan. Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar wilayah yang saat itu disebut Nusantara. Namun kebesaran ini tidak memunculkan kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu disebabkan tidak adanya alat percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal seperti yang terjadi di Jerman.

Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal: (1) ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan (2) pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya. Dia menulis:

“Bila ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita,maka janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita itu” (Kohn dalam Yatim, 2001:65).

Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat merupakan pandangan beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh dia menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral, serta apa yang baik dan apa yang destruktif.

Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain. Absolutisme negara dihadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang dicitakan Hegel, sebuah monarki. Totaliterianisme yang dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan yang fasis. Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain.

Menurut Hugh Purcell nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan, rasisme menekankan superioritas suku dan nasionalisme menekankan keunggulan bangsa. Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa—sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku.

Munculnya fasisme dan komunisme di suatu negara disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. William Ebenstein mencatat bahwa komunisme pada umumnya lahir dalam masyarakat yang masih terbelakang dengan struktur sosial feodalistik-aristokratik. Komunisme dalam masyarakat demikian, memiliki daya pikat yang kuat terhadap kelas-kelas sosial tertindas. Sehingga komunisme dianggap sebagai idealogi penyelamat dan pemberi harapak akan masa depan yang lebih baik.

            Dilain pihak fasisme umumnya, dengan pengecualian tertentu, muncul dalam masyarakat yang telah maju dan makmur serta telah mengalami proses industrialisasi dan modrenasi yang pesat serta berhasil mengembangkan teknologi tinggi.

            Penelitian empirik membuktikan semakin modern dan semakin pesat masyarakat mengalami industrialisasi, masyarakat itu semakin kurang merasa memiliki atas segala sesuatu di sekitarnya. Rasa tak memiliki ini mengakibatkan masyarakat industrial dan modern itu dihinggapi rasa frustasi, marah dan merasa tidak aman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan memiliki watak vandalistik dan destruktiv. Kondisi psikologis ini memberikan lahan subur bagi munculnya fasisme. Fasisme juga lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi. Dengan kata lain, fasisme akan mudah berkembang dalam negara post-democracy, negara yang ‘pernah’ mengalami demokrasi. Kegagalan proses demokratisasi, yang disebabkan faktor domestik dan internasional, memberikan lahan subur bai pertumbuhan fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan pada segelintir elite penguasa, yterbentuknya monopoli dan oligopoli dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguaran baik dikalangan bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas sepertyi kaum cendekiawan, kaum industralis maupun maupun pemilik modal.

            Masyarakat luas kecewa terhadap demokrasi yang dianggap hanya ilusi keadilan politik dan tidak dapat dijadikan standar nilai bagai pembentukan sistem politik-ekonomi yang lebih baik. Kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas massa berbagai kalangan industrialis, buruh, petani cendekiawan, dan perwira militer. Itu berbeda dengan struktur sosial politik tempat berklembangnya komunisme. Faham Marxis-Lennis itu cenderung akan berkembang dalam masyarakat prademokrasi dengan mayoritas penduduk belum mengalami ‘pendewasaan politik’ , strutur sosialnya yang hierarkis-tradisional dan lain-lain.

            Erich Fromm dan Escape Freedom menguraikan teori menarik mengenai konteks psikologis fasisme. Ia berteori bahwa ada kaitan erat antara variabel-variabel ekonomi dengan variabel-variabel psikologis. Karena itu Fromm menolak tesis fasisme semata-mata muncul sebagai akibat dinamisme ekonomi, kecenderungan-kecenderungan ekspansif imperalisme-kapitalisme atau penakluk negara oleh partai tunggal yang didukung kaum  industralis dan the jungkers. Fromm juga keberatan dengan tesis L.mumford yang menilai fasisme semata-mata sebuah fenomena psikotologi yang tidak terkait dengan dinamisme ekonomi. Teori psikologi memiliki asumsi bahwa fasisme tidak lain merupakan sebuah minifestasi mereka yang mengidap penyakit neurotik, kegilaan dan berkepribadian tidak seimbang.

            Berpijak pada kasus Jerman, Fromm berteori bahwa variabel-variabel psikologis fasisme tidak berdiri sendiri sebab ia terbentuk oleh variabel-variabel ekonomi. Nazisme misalnya, memang merupakan masalah ekonomi tapi sepenuhnya bisa dipahami bila melihatnya dari pendektan psikopatologi. Hal terakhir inilah yang dibahas fromm dalam karyanya diatas. Variabel psikologis itu menurut fromm adalah keadaan mental yang letih dan pasrah total. Keadaan psikologis ini dialami para pekerja Jerman sesudah revolusi 1918. dan pada pasca perang, mereka memiliki harapan-harapan besar akan terjadinya perbaikan ekonomi, sosial dan politik. Tetapi semuanya hancur tahun 1930 akibat krisis ekonomi yang berjepanjangan. Krisis itu mengakibatkan penderitaan diluar batas kesanggupan mental kelas pekerja untuk menanggungnya. Akhirnya mereka letih dan pasrah menghadapi persoalan hidup dan merasa kurang percaya terhadap akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik di Jerman.

            Keadaan ini diperparah oleh terjadinya inflasi nilai mata uang Jerman pada 1932. padahal ketika itu Jerman baru saja kalah perang menghadapi sekutu dalam perang dunia I. Inflasi ini, seperti lazimnya, telah menurunkan nilai mata uang Jerman secara drastis. Ini menurut fromm sangat mengecewakan dan menimbulkan frustasi mental serius sebab uang yang ditabung bertahun-tahun kemudian jatuh nilainya secara drstis. Yang paling terpukul oleh inflasi itu menurut fromm adalah kelas menengah Jerman. Kelas sosial ini lalu menjadi sangat rentan dan rapuh. Dalam kondisi yang rapuh secara psikologis itulah kehadiran fasisme memberikan kekuatan bagi mereka untuk bangkit. Mereka menerima fasisme sepenuh hati. Kelas ini menurut fromm adalah kelas yang cinta terhadap yang kuat dan membenci mereka yang lemah, picik, mudah meremehkan orang lain, hemat dengan uang, asketis, dan sering dihinggapi xenophobia. Kekalahan Jerman pada perang dunia I yang kemudian diikuti oleh keruntuhan sistem monarki beban pajak yang berat, dan keharusan membayar kerugian perang kepada negara sekutu. Mereka juga kehilangan resistensi pesikologis, kehilangan kepercayaan diri dan merasa tidak memiliki harapan masa depan. Dalam keadaan demikian, muncul ‘harapan-harapan mesianistik’ di segmen sosial  kelas bawah dan menengah akan lahirnya seorang pemimpin dan ideologi yang dapat memulihkan harapan-harapandan membangkitkan semangat rakyat menghadapi kekalahaan perang dan menjadikan Jerman sebagai negara adidaya di Eropa.

            Dalam konteks demikian Hitler-yang merupakan tokoh kharismatik dan manipulator politik ulung-muncul dengan idelogi fasisnya. Ia membangkitkan harapan-harapan rakyat Jerman dari berbagai strata sosial, menumbuhkan perasaan superior Jerman yang hancur karena kekalahan perang dan mendramatisasi kekalahan itu  untuk majsud-maksud politiknya. Hitler, dengan dukungan militer dan masa berhasil membawa Jerman ke panggung politik dunia hanya dalam beberapa tahun memenuhi harapan-harapan rakyat Jerman itu. Kemudian berusaha menebus kekalahan Jerman, dengan menaklukan negara-negara Eropa, pada perang dunia II.

            Menurut Ebenstein perkembangan fasisme juga dilatar belakangi oleh kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam kepribadian individu-individu dalam masyarakat. Pertama,kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa dengan cita-cita dan prktik-praktik kuno. Kedua, kepribadian yang kaku secara emusional dan kurang memiliki imajinasi intelektual yang luas dan terbuka. Individu bersangkutan berpandangan ‘inward looking’ dan menilai sesuatu secara hitam-putih. Ketiga, individu memiliki watak mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh. Ia merasa dengan memiliki keduanya akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut memiliki kecenderungan loyalitas yang kuat pada kelompoknya sendiri. Ia melihat kelompoknya sebagai yang kuat, memiliki kelibihan dan keistimewaan dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Kadang individu seperti itu merasa benar sendiri, yang lainnya salah. Kelima, ia memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung kurang sukaakan kebebasan dan spontanitas dalam hubungan-hubungan kemanusiaan.

            Fasisme, sebagaimana isme-isme lainnya,memiliki gagasan dan doktrin-doktrin  tertentu. Hayes, Ebenstein dan Bracher menyebutkan beberapa doktrin fasisme itu. Doktrin pertama, adalah gagasan mengenai mitos ras unggulan. Konsep keunggulan atau superioritas ras merupakan doktrin sentral fasisme. Menurut fasisme secara rasial manusia tidak sama. Ada ras yang superior dan ras inferior. Ras superior inilah yang telah ditentukan secara alamiah akan menjadi penguasa atas ras inferior. Mereka berhak untuk memperbudak ras inferior.

            Di Jerman, mitos ras Arya sebagai ras unggul dianut dan memiliki akar historis cukup panjang. Gagasan ras unggul itu pada mulanya berkembang pada abad XIX, khususnya tahun 1866 dan 1870 dengan kemenangan Jerman dalam pertempuran-pertempuran militer menghadapi musuh-musuhnya. Sejak itu mulai muncul pandangan Jerman sebagai ras terpilih. Maka mulai berkembang mitos Jerman ras pilihan dan superior. Para guru, instruktur militer, tokoh-tokoh politik Jerman mensosialisasikan mitos itu dalam lembaga-lembaga sosial-politik dan kultural. Anak-anak sekolah dan mahasiswa universitas diajarkan doktrin bahwab bangsa Jerman adalah bangsa diatas segala bangsa di dunia.

Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang berlaku di negara-negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke 6 sampai dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu demokrasi yang dilaksanakan adalah demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negaranya yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas hal tersebut dimungkinkan karena negara kota mempunyai wilayah yang relatif sempit dan jumlah penduduk tidak banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa).

Sedangkan waktu itu tidak semua penduduk mempunyai hak bersifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit (kurang lebih 300 ribu jiwa dalam satu kota). Ketentuan demokrasi yang hanya berlaku untuk warga negara resmi.

Gagasan demokrasi Yunani hilang dari dunia Barat ketika Romawi Barat dikalahkan oleh suku Jerman. Dan Eropa Barat memasukkan Abad Pertengahan Abad pertengahan di Eropa Barat dicirikan oleh struktur total yang feodal (hubungan antara Vassal dan Lord). Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejajabat agama lawuja. Kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antar bangsawan. Dari sudut perkembangan demokrasi AP menghasilkan dokumen penting yaitu Magna Charta 1215. Ia semacam contoh antara bangsawan Inggris dengan Rajanya yaitu John. Untuk pertama kali seorang raja berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahannya.

Pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Mostesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut Locke hak-hak politik mencakup atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property). Montesquieu, menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik dengan pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan Trias Politica.


Trias Politica menganjurkan pemisahan kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan. Ketiganya terpisah agar tidak ada penyalahgunaan wewenang. Dalam perkembangannya konsep pemisahan kekuasaan sulit dilaksanakan, maka diusulkan perlu meyakini adanya keterkaitan antara tiga lembaga yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengaruh paham demokrasi terhadap kehidupan masyarakat cukup besar, contohnya perubahan sistem pemerintahan di Perancis melalui revolusi, revolusi kemerdekaan Amerika Serikat (membebaskan diri dari dominasi Inggris).

DAFTAR PUSTAKA



Abdulgani, Roeslan. (Tanpa Tahun). Nasionalisme Sebagai Faktor Kekuatan Dalam Percaturan Politik Internasional. Jakarta: Prapanca.

Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman. 1985b. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.

Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachtiar, Harsya. 1974. Percakapan Dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.

Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi. Jakarta: PT. Gramedia.

Downs, Robert. 1961. Buku-Buku yang Merubah Dunia. Jakarta: PT. Pembangunan.

E-edukasi. 2009. Paham-Paham yang Berkembang di Dunia. [serial on line]. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=105&fname=sej202_09.htm. [25 Januari 2009].

Kohn, Hans. 1876. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan.

Mestoko, Sumarsono. 1985. Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soeratman, Darsiti. 1965. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern. Yogyakarta: Vita.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Swastika, Kayan. 2007. Sejarah Intelektual Modul Bahan Belajar Mandiri. Jember: IKIP PGRI Jember.

Ward, Barbara. 1933. Lima Pokok Pikiran yang Merubah Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wikipedia. 2009a. Demokrasi. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009b. Fasisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Fasisme. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009f. Nasionalisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. [25 Januari 2009].


William Ebenstein. 1987. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment