Friday 28 August 2015

PENGARUH NASIONALISME, FASISME DAN DEMOKRASI TERHADAP SEJARAH NASIONAL DAN SEJARAH LOKAL DI INDONESIA


Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi.

Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman.

Nasionalisme Indonesia adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 60 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.

Sebagai suatu konstruksi posteriori, maka nasionalisme harus dijaga, dipelihara, dan dijamin mampu menghadapi perubahan zaman. Selain itu, nasion sebagai suatu yang “imagined” adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup. Selama 60 tahun imajinasi itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan itu akan terwujud.

Apabila Nasion adalah suatu yang “imagined”, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu sendiri, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam negara bangsa ini semakin meningkat.

Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan.

Tantangan internal dan eksternal tersebut niscaya memengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila kita secara mantap dan konsisten berupaya keras untuk meminimalisasi kalau tak mungkin menghilangkan fenomena internal di atas sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain.

Barangkali ini adalah upaya yang jauh lebih keras dan berat dibandingkan bangsa-bangsa lain karena Indonesia adalah negeri majemuk terbesar di dunia. Sebagai bangsa majemuk terbesar, kita juga paling rentan perpecahan dan disintegrasi. Itulah sebabnya kita perlu memahami dan menyadari kondisi-kondisi dasar bangsa kita, antara lain, suku bangsa dan kesukubangsaan, sebelum kita berbicara tentang isu-isu lain, seperti nasionalisme sebagai prinsip politik.

Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulis Soekarno dinyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig.

Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undang-undang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno. Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati bersama. Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.

Seperti halnya dengan kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa Asia-Afrika lainnya, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah kulminasi inspirasi Kemerdekaan yang bersandar pada akumulasi pengalaman penjajahan (kolonisasi) Eropa dan seharusnya dibumikan pada pengalaman aktual saat ini. Secara esensial Nasionalisme Kebangsaan Indonesia dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. Sedangkan esensi resistensi terhadap kolonialisme itu hendaknya tidak berhenti pada kolonialisme Eropa dan menisbikan bentuk-bentuk `kolonialisme oleh bangsa sendiri' serta `kolonialisme Eropa dalam bentuk baru'. Refungsionalisasi Nasionalisme yang sarat dengan esensi pembebasan itu akan mencegah Nasionalisme disempitkan hanya menjadi sekedar "ideologi untuk berperang".

Saat ini, ribuan kasus pertikaian komunal yang dilatar-belakangi oleh ketidak-mampuan dalam menerima perbedaan agama dan etnisitas serta ketidak-konsistenan terhadap penegakan hukum positif merupakan penodaan terhadap semangat Nasionalisme Kebangsaan Indonesia.

Semangat kedaerahan dan kesukuan mendahului lahirnya konsepsi nasionalisme Indonesia. Salah satu prototipe nasionalisme Indonesia dalam bentuk kedaerahan adalah Soetatmo Soerjokoesoemo pendiri KOMITE NASIONALISME JAWA. Soetatmo memajukan nasionalisme Jawa yang dipandangnya lebih jelas dalam landasan bahasa dan kebudayaan untuk sebuah bangsa. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan. Nasionalisme adalah faktor pendorong Kemerdekaan.

Perlu dicatat bahwa nasionalisme sendiri tidak bergantung pada bahasa, tapi diperlukan sebagai media bagi warga suatu bangsa. Jadi bahasa boleh jadi sebuah komponen penting dalam eksistensi kebangsaan, tapi tidak berarti dia sine qua non.

Apakah kebudayaan dapat dijadikan identitas pula sebagaimana bahasa?
Dalam perspektif yang sama nampaknya juga berlaku mengenai kebudayaan tapi memiliki konteks persoalan yang berbeda dan lebih luas dari bahasa. Adakah kebudayaan yang sungguh-sungguh tunggal di dunia ini sehingga suatu komunitas dapat mengidentifikasi dirinya dengan kebudayaan itu? Pada kenyataannya kebudayaan lebih bergerak pada prosesnya sendiri dengan persinggungan berbagai kebudayaan di dunia. Kebanyakan negara modern pun merupakan bangsa dengan multikultur seperti Indonesia dan Amerika misalnya. Indonesia adalah negeri yang multikultur, integrasi tiap budaya lokal ke dalam budaya nasional bukanlah pemaksaan satu budaya dominan atau peleburan budaya-budaya ke dalam satu bentuk, tapi membiarkannya terintegrasi menjadi sebuah mozaik kebudayaan. Sehingga tidak layaklah membenturkan, misalnya, budaya nasional versus budaya daerah, tapi membiarkan keduanya saling mengisi. Tanpa perumusan ketat atas "budaya nasional", nasionalisme tetap ada.

            Pengaruh demokrasi yang tampak dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia adalah sejak dibentuknya negara ini menjadi negara republik, maka demokrasi telah dipilih oleh bangsa ini sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahannya.

            Macam-macam demokrasi pemerintahan yang dianut oleh berbagi bangsa di dunia adalah demokrasi parlementer, demokrasi dengan pemisahan kekuasaan dan demokrasi melalui referendum. Demokrasi Parlementer, adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan, dianut sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Dalam sistem ini, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang Presiden, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. Demokrasi melalui Referendum yang paling mencolok dari sistem demokrasi melalui referendum adalah pengawasan dilakukan oleh rakyat dengan cara referendum. Sistem referendum menunjukkan suatu sistem pengawasan langsung oleh rakyat. Ada 2 cara referendum, yaitu referendum obligator dan fakultatif. Referendum obligator atau wajib lebih menekankan pada pemungutan suara rakyat yang wajib dilakukan dalam merencanakan pembentukan UUD negara, sedangkan referendum fakultatif, menenkankan pada pungutan suara tentang rencana undang-undang yang sifatnya tidak wajib.

Di negara berkembang seperti Indonesia, teori Trias Politica diterapkan setelah mengalami modifikasi tertentu agar sesuai dengan konteks sosio-politik Indonesia. Kalau dalam konsep asli Trias Politica menghendaki pemisahan kekuasaan (separation of powers), Indonesia memodifikasinya menjadi pembagian kekuasaan (division of powers) tanpa menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain. Kecenderungan untuk membentuk negara demokrasi di barat semakin kuat dengan lahirnya gagasan demokrasi konstitusional (constitusional democracy). Model demokrasi ini merupakan suatu sistem yang sepenuhnya didasarkan pada pemikiran konstitusionalisme. Yaitu bahwa kekuasaan pemerintahan harus dibatasi oleh undang-undang dasar. Gagasan mengenai pentingnya pembatasan kekuasaan itu pernah dirumuskan oleh Lord Acton yang berpendapat bahwa “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahkan kekuasaan itu, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya). Ditinjau dari sejarah perkembangannya, gagasan demokrasi konstitusional sebenarnya hanyalah kelanjutan dari gagasan-gagasan politik Rosseau, Locke, Montesquieu, dan lain-lain.

Gagasan negara demokrasi yang berkembang di abad XIX dan XX sejalan dengan perkembangan gagasan negara hukum (rechtsstaat) di beberapa negara Barat. Gagasan negara hukum sebenarnya dirintis oleh para pemikir Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Frederich Julius Stahl serta Dicey, pemikir Anglo Saxon. Dalam pandangan mereka negara demokrasi identik dengan negara hukum dimana prinsip rule of law dijadikan sebagai dasar kehidupan kenegaraan. Negara hukum berdasarkan rule of law ini memiliki prinsip-prinsip berikut; pengakuan terhadap hak-hak manusia, menerapkan asas pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Menurut Miriam Budiardjo untuk terselenggaranya pemerintahan demokratis di bawah rule of law itu perlu memiliki syarat-syarat berikut: perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilu yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dan pendidikan warga negara.

Demokrasi, seperti dikatakan di atas bukanlah konsep yang statis. Miriam Budiardjo menulis bahwa dalam abad XX terjadi perubahan mendasar mengenai orientasi negara demokrasi. Kalau pada masa sebelumnya negara demokrasi hanya menjadi negara penjaga malam (nachtwathtersstaat) yang hanya berhak campur tangan dalam kehidupan rakyatdalam batas-batas yang sempit, pada abad XX negara memiliki peranan yang lebih besar. Negara demokrasi dianggap turut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu negara harus aktif mensejahterakan rakyatnya. Gagasan ini menurut Miriam Budiardjo kemudian dirumuskan dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) atau social service state. Demokrasi kemudian mengalami pergeseran konsep. Ia tidak lagi sekadar menjadi demokrasi politik tapi juga demokrasi ekonomi. Perkembangan ini terjadi secara pragmatis dan alamiah sebagai produk usaha mengatasi tantangan-tantangan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada abad XX.

Wiliam Ebenstein mengemukakan beberapa kriteria dan dasar psikologis demokrasi. Suatu negara atau sistem pemerintahan dapat dikatakan sebagai demokratis apabila memiliki beberpa kriteria berikut:

Pertama, empirisme rasional, konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa akal sehat, akal budi (reason) atau nalar manusia sangat penting dijadikan dasar demokrasi. Akal sehat akan membuat manusia berpikir jernih dan tidak semena-mena dalam meyakini suatu kebenaran. Kaum dogmatis, seperti kaum komunis, mengabaikan kriteria ini. Mereka menganggap doktrin yang mereka anut sebagai kebenaran yang pasti dan mutlak, misalnya doktrin kelas proletariat, masyarakat tanpa kelas, dan lain-lain. Demikian juga dengan kaum fasis yang merasa fasisme dan ultra-nasionalisme sebagai kebenaran mutlak.

Ada hubungan erat antara dogmatisme (dogmatism, atau anti nalar) dengan otoritarianisme dan totalitarianisme. Karena merasa mengetahui kebenaran mutlak, tahu persis hakikat kebenaran, orang akan mudah memaksakan kehendak atau keyakinannya pada orang lain meskipun dengan menggunakan kekerasan. Pada level negara, sikap demikian akan melahirkan pemerintahan otoriter dan totaliter yang tidak memiliki toleransi terhadap berbagai gagasan atau pandangan yang tidak sejalan dengan pemerintahan itu.

Sikap rasional dalam meyakini suatu kebenaran akan melahirkan sikap-sikap demokratis. Sebab, empirisme rasional menolak percaya secara membabi buta terhadap suatu kebenaran. Kebenaran dianggap suatu kenyataan relatif. Mereka menganut empirisme rasional akan selalu meragukan apa yang diyakininya, selalu mempertanyakannya dan mencari kebenaran yang lebih benar. Ia juga merasa tidak pernah, dan tidak akan pernah berhasil mencapai kebenaran final dalam menjawab berbagai persoalan, sehingga kebenaran selalu negotiable (bisa dirundingkan).


Konsekuensi sikap demikian adalah seseorang merasa tidak tahu segala hal. Ia merasa memiliki kelemahan untuk mengetahui sesuatu. Dari sikap itu muncul perasaan untuk membuka diri dari pandangan orang lain. Orang lain mungkin mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Dari sinilah kemungkinan usaha untuk bekerja sama, saling membantu serta akomodatif dalam mencari jawaban terhadap berbagai persoalan. Yang penting bagi empirisme rasional adalah bukan apanya, melainkan bagaimana-nya. Itu berarti bagi para penganut empirisme rasional keyakinan terhadap kebenaran apa pun bukan persoalan penting. Yang penting adalah bagaimana atau cara apa yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran itu sendiri.   

DAFTAR PUSTAKA



Abdulgani, Roeslan. (Tanpa Tahun). Nasionalisme Sebagai Faktor Kekuatan Dalam Percaturan Politik Internasional. Jakarta: Prapanca.

Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman. 1985b. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.

Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachtiar, Harsya. 1974. Percakapan Dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.

Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi. Jakarta: PT. Gramedia.

Downs, Robert. 1961. Buku-Buku yang Merubah Dunia. Jakarta: PT. Pembangunan.

E-edukasi. 2009. Paham-Paham yang Berkembang di Dunia. [serial on line]. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=105&fname=sej202_09.htm. [25 Januari 2009].

Kohn, Hans. 1876. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan.

Mestoko, Sumarsono. 1985. Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soeratman, Darsiti. 1965. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern. Yogyakarta: Vita.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Swastika, Kayan. 2007. Sejarah Intelektual Modul Bahan Belajar Mandiri. Jember: IKIP PGRI Jember.

Ward, Barbara. 1933. Lima Pokok Pikiran yang Merubah Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wikipedia. 2009a. Demokrasi. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009b. Fasisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Fasisme. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009f. Nasionalisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. [25 Januari 2009].


William Ebenstein. 1987. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment