Friday 28 August 2015

PENGARUH NASIONALISME, FASISME DAN DEMOKRASI TERHADAP KENYATAAN SEJARAH PERADABAN UMAT MANUSIA


Menurut Louis Snyder nasionalisme merupakan campuran dari gagasan yang mengandung faktor-faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga menyatu pada taraf tertentu dalam suatu kurun sejarah. Menurut Otto Bouer paham nasionaisme paham nasionalisme muncul oleh adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Dua tokoh terakhir mempunyai kesamaan pendapat bahwa nasionalisme suatu bangsa lahir akibat adanya faktor kemanusiaan.

Aspek mendasar timbulnya nasionalisme adalah aspek sejarah. Melalui aspek sejarah biasanya suatu bangsa memiliki rasa senasib sepenanggungan serta harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Dengan demikian nasionalisme adalah sikap politik dan sikap sosial suatu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, tujuan dan cita-cita.

Nasionalisme sebagai suatu peristiwa sejarah, selalu bersifat kontekstual (artinya meruang dan mewaktu), sehingga nasionalisme di suatu daerah dengan daerah lain atau antar zaman tidaklah sama. Misalnya saja bagi negara yang sudah lama merdeka, nasionalisme dapat mengarah pada imperialisme. Biasanya nasionalismenya bersifat konservatif. Bagi negara semacam ini akan mempersulit timbulnya nasionalisme di daerah-daerah jajahannya. Sedangkan bagi negara yang masih terbelenggu imperialisme dijajah nasionalisme bersifat revolusioner dan progresif. Dengan demikian nasionalisme sarat dengan kepentingan suatu bangsa. Tumbuh dan berkembangnya nasionalisme sangat dipengaruhi oleh nasionalisme yang dianut kelompok dominan suatu bangsa.

Perlu diingat, bahwa gerakan nasionalisme yang mulanya lebih menekankan pada kesetiaan dan menjaga keutuhan negara, dapat pula berkembang menjadi sikap untuk menguasai wilayah lain. Hal ini disebabkan adanya perasaan sebagai negara paling kuat dan berpengaruh. Sikap yang berlebihan ini dikenal dengan istilah ultranasionalisme.

Gerakan ultransionalisme ini diwujudkan dalam bentuk menguasai bangsabangsa lain. Contohnya bangsa Belanda yang menjajah bangsa Indonesia, bangsa Inggris yang menjajah India.

Selain adanya gerakan ultransionalisme, nasionalisme dapat pula mengarah pada chauvinisme, yaitu paham yang menganggap dirinya sebagai suatu bangsa yang terbaik. Disatu sisi, nasionalisme akan memberi suatu kepercayaan diri yang kuat. Contoh Jerman pada waktu diperintah Adolf Hitler.

Munculnya rasa nasionalisme pada bangsa Asia dan Afrika tersebut, tidak lain disebabkan oleh tekanan dari penjajahan (bangsa Barat) terhadap bangsa Asia dan Afrika. Dengan demikian timbul dorongan yang kuat di kalangan rakyat Asia dan Afrika untuk keluar dari tekanan tersebut.

Perlawanan bangsa-bangsa Asia dan Afrika terhadap kaum penjajah dilakukan dengan kekuatan senjata, tetapi ada pula yang dilakukan dengan kekuatan politik. Selain itu perlawanan juga dilakukan dengan cara mengadaptasi ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Eropa. Dengan cara-cara tersebut bangsa Asia dan Afrika bangkit melawan bangsa-bangsa yang menjajahnya.

Terdapat empat ciri nasionalisme Asia yaitu merupakan sarana untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat, menjadi peletak dasar bagi terciptanya perubhan masyarakat Asia terutama perubahan dalam cara pandang, pemimpin Intelektual yang memperoleh pengaruh positif dari pendidikan Barat berusaha menumbuhkan semangat pembaharuan. Caranya mengadopsi sisi positifnya seperti berfikir kritis, komitmen pada kewajiban ilmu pengetahuan dan Industrialisasi, pemimpin dan pengikutnya lebih melihat masa depan dibandingkan masa lalu.

Sedangkan fasis bermula dari abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.

Diktator fasis pertama di abad ke-20, Benito Mussolini, memerintah Italia antara tahun 1922 hingga 1944. Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno.

Istilah “fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Dan gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah Perang Dunia II, rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai fasis.

Sejarah fasisme bermula dari seorang pejabat dari Romawi kuno. Ia berjalan di depan para hakim Roma sambil memegang seikat tangkai sebagai lambang kekuatan dan kekuasaan.

Untuk memahami falsafah fasisme, kita dapat cermati deskripsi yang ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada tahun 1932, Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan mengamati masa depan dan perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai pertimbangan politis saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun manfaat dari perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin Pasifisme – yang lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan pengecut di hadapan pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan lain adalah cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke dalam posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.Untuk melambangkan kekuasaannya, Mussolini mengadopsi kapak Romawi.

Jelaslah sebagaimana ditekankan Mussolini, gagasan utama di balik fasisme adalah ide Darwinis mengenai konflik dan perang. Sebab, sebagaimana kita bahas dalam prakata, Darwinisme menegaskan bahwa “yang kuat bertahan hidup, yang lemah punah”, yang karenanya berpandangan bahwa manusia harus berada dalam perjuangan terus-menerus untuk dapat bertahan hidup. Karena dikembangkan dari gagasan ini, Fasisme membangkitkan kepercayaan bahwa suatu bangsa hanya dapat maju melalui perang, dan memandang perdamaian sebagai bagian yang memperlambat kemajuan.

Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun 1930-an: Sangatlah bodoh orang yang mempercayai tetangganya, sebaik dan sepenuh kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada bagi orang-orang yang memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap keras kepala mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah, bawalah selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.

Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa fasisme merupakan ideologi nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada rasisme. Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan pada negara. Dalam nasionalisme agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan bangsanya menguasai bangsa-bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain itu, nasionalisme fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.

Sebagaimana halnya yang mereka lakukan untuk menguasai bangsa-bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan penindasan terhadap bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme adalah pemaksaan gagasan, dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai tujuan ini, fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti gagasan-gagasannya sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi Jerman.

Meski saat ini tidak ada satu negara pun yang menyebut diri sebagai fasis atau secara terbuka mempraktikkan fasisme, di berbagai negara di dunia terdapat banyak pemerintahan, kelompok dan partai politik yang mengikuti pola-pola fasistik.

Walaupun nama dan taktiknya telah berubah, mereka masih terus menimpakan kesengsaraan serupa pada rakyat. Berkemungkinan pula, kemerosotan kondisi sosial dapat membuat dukungan terhadap fasisme makin berkembang. Karenanya, fasisme terus menerus menjadi ancaman bagi kemanusiaan. Darwinisme, yang menyatakan klaim-klaim seperti “manusia adalah hewan yang telah berkembang sempurna”, “beberapa ras telah tertinggal dalam proses evolusi”, dan “melalui seleksi alam, yang kuat akan bertahan dan yang lemah tersingkir”, telah menjadi sumber bagi banyak ideologi berbahaya sepanjang abad ke-20, terutama fasisme. Oleh karena itu, sebagaimana yang akan kita bahas lebih rinci, Darwinisme bertanggung jawab atas banyak penindasan dan kekerasan. Bahkan, walaupun di negara kita tidak terdapat gerakan atau praktik fasis, orang-orang yang berupaya membangkitkan fasisme telah diawasi, dan Darwinisme tidak diterima secara luas, kita tak boleh mengendurkan kewaspadaan. Semua orang yang berhati nurani harus ikut serta dalam perjuangan ideologis melawan semua kekuatan dan ideologi yang membuat kerusakan di muka bumi dan bermaksud menghancurkan kedamaian dan ketertiban.

Fasisme mengalami perkembangan yang pesat di wilayah Jerman. Orang-orang di negara ini meyakini bahwa ras Arya selaku ras utama Jerman adalah ras terbaik di dunia, dan oleh karenanya tidak boleh bercampur baur dengan ras-ras lainnya. Demikian dengan Gorness mempropagandakan gagasan Jerman raya dan Jerman bersatu. Ia meyakini bangsa Jerman adalah ras murni berkualitas tinggi.

            Teoritisi terkemuka lain yang memberikan sumbangan berarti bagi gagasan mitos ras unggul Jerman adalah Count Arthur Gobeneau. Anehnya  ia bukan asli orang Jerman melainkan warga negara Perancis. Gobineau percaya bahwa struktur ras manusia bersifat hierarkis. Jadi apa ras unggul dapat melahirkan peradaban besar dan memiliki hak-hak alamiah unuk berkuasa dan memperbudak ras lain, adapun ras inferior tidak memberikan sumbangan apapun bagi perkembangan peradaban. Dalam karyanya, essai sur linegalite des race humaines, Gobineau mengklaim bahwa ras superior itu adalah ras superior itu adalah ras Arya dan masyarakat Jerman adalah salah satu keturunan ras itu. Secara lebih rinci ia mengemukakan terdapat tiga ras manusia didunia ini; ras kulit putih, ras kulit kuning, ras kulit hitam.

Ras kulit putih adalah ras superior kemudian ras kulit kuning. Ras inferior adalah ras kulit hitam. Di antara ras kulit putih menurut Gobineau terdapat ras unggul yang berpotensi besar sebagai ras yang melahirkan dan mengembangkan peradaban. Tetapi sebagian dari ras kulit putih ada yang berpotensi menjadi ras penghancur peradaban. Ras kulit putih yang memiliki unggul adalah ras teutons. Yang tergolong ras ini adalah keturunan bangsa slavia dan celtik. Dari kedua bangsa itulah menurut Gobineau berkembang bangsa Jerman, Skandinavia, Inggris.

            Atas dasar mitos ras itu Gobineau mengembangkan gagasan anti-egalitari anisme. Masyarakat manusia menurutnya bersifat hierarkis. Ada yang secara alamiah ditakdirkan jadi penguasa dan yang dikuasai tergantung dari jenis ras apa mereka berasal. Maka menurutnya elite merupakan lapisan sosial yang paling esensial bagi usaha melestarikan masyarakat manusia yang beradab. Kondep superioritas ras ini dianut oleh Duhring, Lagarde dan Wagner. Untuk melestarikan gagasan-gagasan Gobineau, Wanger mendirikan organisasi masyarakat Gobineau. Teoretisi mitos ras unggul lainnya adalah Camberlain, pemikir asal Inggris. Gagasan-gagasannya berkembang pesat di Jerman, melebihi perkembangan di negaranya sendiri. Inti pemikiranya mengenai ras unggul adalah sebagai berikut. Pertama bahwa ras Arya asal bangsa Jerman adalah ras paling unggul atau superior. Ras ini ditakdirkan menjadi ras terbaik karena memiliki apa yang disebutnya ‘superior genetic gifts’. Kedua, bangsa Jerman adalah bangsa yang mempelopori lahirnya abad renaisans di Italia. Renaisans  menurutnya merupakan sebuah kebangkitan kembali ‘semangat Jerman’.

Bagi kita pandangan ini tentu aneh dan patut dipertanyakan sebab para perintis renaisans, baik dari kalangan seniman, cendekiawan atau filisof, bukanlah berasal dari Jerman melainkan Italia. Ketiga, bentuk dan penampilan fisik dan mental menentukan kualitas ras tertentu. Keduanya menunjukkan ‘suporioritas ras’. Mitos Arya sebagai ras unggul berkembang di Jerman pada perang dunia II. Depresi ekonomi dan kekalahan Jerman dalam perang itu mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan hubungan sosial dan industrial. Kelompok-kelompok berkuasa di Jerman menerima mitos ras bukan karena ingin mendukung rezim Hitler tapi demi menuju tujuan-tujuan ekonomi dan politik mereka. Pada masa ini mitos ras unggul memiliki dampak luar biasa secara sosial dan politik karena mitos itu dikombinasi dengan kecenderungan-kecenderungan imperialisme, teori-teori sosial darwinisme dan mistisisme keagamaan.

            Mitos ras itu melahirkan sikap-sikap kebencian mendalam kepada ras lain, khususnya yahudi. Kebencian itu termanifestasi dalam berbagai bentuk. Dari bentuknya yang paling halus seperti sindiran dan caci maki hingga bentuknya yang paling vulgar dan kejam seperti penyiksaan, dan pembantaian massal terhadap orang Yahudi. Dalam termonologi barat, sikap-sikap demikian dinamakan anti-semitisme. Inilah doktrin fasisme kedua yang berkembang pesat di Jerman pada masa perang dunia I dan II. Bila dilacak akar historis-kulturalnya, doktrin ini sebenarnya telah berkembang di negara Eropa sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu.

Berdasarkan kajian Dimont, Arendt, Sartre, dan Stokes bisa dikatakan bahwa anti-semitisme telah terjadi ribuan tahun lalu di Mesir ketika Fir’aun berkuasa. Yahudi disiksa dan dijadikan budak, juga menjadi objek penyiksaan dan diusir ketika Nebukadnazer menguasai Babilonia. Di masa imperium Romawi, orang-orang Yahudi mengalami penderitaan berkepanjangan akibat loyalitas mereka diragukan pengasa imperium.

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki banyak konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Maka, tidaklah mudah membuat suatu definisi yang jelas mengenai demokrasi. Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila demokrasi parlementer dan lain-lain.

Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis, bukan konsep yang statis. Artinya, konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansialnya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historis dimana konsep demokrasi lahir dan berkembang. Demokrasi berkembang secara evolutif, secara perlahan tapi pasti. Maka, apa yang dipahami sebagai gagasan-gagasan demokrasi pada masa Yunani kuno, misalnya, tidak harus sesuai dan relevan dengan gagasan-gagasan demokrasi yang berkembang dewasa ini.

Bila demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, penghargaan terhadap hak-hak politik rakyat, persamaan di mata hukum, kebebasan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, maka bisa kita katakan bahwa nilai-nilai demokrasi Yunani kuno itu universal. Tetapi, patut dipertanyakan siapakah yang dimaksud dengan rakyat dalam konteks demokrasi Yunani kuno? Apakah pengertiannya sama dengan pengertian rakyat dewasa ini? Bila diteliti karya-karya Aristoteles, pemikir politik Yunani kuno yang banyak merumuskan gagasan demokrasi, akan tampak bahwa konsep rakyat di masa itu berbeda dengan pengertian rakyat di masa kini.

Aristoteles mengkategorikan rakyat sebagai warga negara (citizen). Mereka merupakan kelompok sosial minoritas dalam negara kota (polis atau city state) yang memiliki hak-hak istimewa dalam kehidupan politik negara kota. Misalnya, memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan kebijakan negara. Di tangan merekalah nasib negara kota di tentukan. Bagian terbesar (mayoritas) penduduk negara masa itu adalah budak belian dan pedagang-padagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani dan mereka ini tidak memiliki hak-hak istimewa seperti kaum warga negara. Mereka adalah kelompok sosial ‘kelas dua’ dalam struktur negara demokratis Yunani kuno. Atas dasar anggapan ini tampak bahwa demokrasi di masa Yunani kuno tidak memiliki kesamaan makna dengan pengertian demokrasi yang dipahami dewasa ini.

Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan demokrasi. Demokrasi yang dikembangkannya menganut beberapa prinsip pokok, yaitu kesetaraan warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap hukum dan keadilan dan kebajikan bersama (civic virtue). Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara agar mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik dan kepentingan bersama di atas kepentingan diri dan keluarga. Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct democracy). Model demokrasi ini bisa ditetapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas, tidak lebih dari 300.000 jiwa, wilayahnya juga tidak seluas negara-negara modern dewasa ini, struktur sosial politiknya masih sederhana dan, mereka juga terlibat langsung dalam proses kenegaraan relatif terbatas hanya pada kalangan warga negara.

Dalam politics (politea), karyanya yang termasyhur Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang kurang baik. Ia mengkategorikan demokrasi ke dalam negara yang buruk (bad state), bukan negara yang baik (good state). Bentuk negara terbaik adalah monarki, suatu sistem kenegaraan dengan satu orang penguasa dengan tujuan kebaikan bersama. Mengapa demokrasi kurang baik? Karena demokrasi merupakan pemerintahan orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, latar belakang sosial ekonomi, perbedaan tingkat pendidikan yang mencolok.pemerintahan yang dilakukan oleh mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elite kekuasaan. Perbedaan-perbedaan itu menjadi kendala bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan knflik mudah terjadi karena perbedaan-perbedaan itu.

Demokrasi Yunani kuno bisa dikategorikan sebagai demokrasi yanmg tidak terikat dengan nilai-nilai spiritualisme. Demokrasi itu sepenuhnya bersifat sekular. Dalam konteks kekuasaan, pengertian sekular berarti bahwa kekuasaan yang dimiliki negara sepenuhnya ditentukan oleh negosiasi atau perjanjian antara warga negara. Kedaulatan negara demokratis sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyatlah pemegang supremasi kekuasaan tertinggi.

Gagasan demokrasi juga semakin berkembang di barat dengan lahirnya gerakan Renaisans (XIV) dan Reformasi (XVI-XVII). Gerakan ini telah memberikan cetak biru (blue print) berkembangnya gagasan-gagasan demokrasi dengan perjuangannya menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi kekusaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat dan mempelopori gagasan-gagasan pembentukan negara bangsa (nation states). Gagasan demokrasi pada masa Renaisans semakin tersebar setelah ditemukannya mesin-mesin cetak. Penemuan teknologi itu memudahkan kaum cendekiawan atau para pemikir bebas menyebarkan gagasan-gagasan kebebasan dan demokrai melalui media-media cetak seperi buku, majalah, dan koran. Di atas semua itu, Renaisans maupun Reformasi menempatkan posisi manusia dalam kedudukan terhormat, dan menunjukkan keberpihakannya terhadap konsep kedaulatan rakyat. Manusia renaisans adalah manusia yang berpikir merdeka (bebas) dan memiliki human dignity serta self-determination yang kokoh. Mereka tidak lagi sepenuhnya terkukung dogma-dogma Katolisisme Abad Pertengahan dan kekuasaan negara yang menindas.

Gerakan Renaisans memberikan fondasi yang kokoh bagi munculnya Abad Pencerahan Eropa (Abad XVIII). Abad Pencerahan merupakan masa dimana gagasan-gagasan demokrasi menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, Locke, Voltaire, Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis gagasan-gagasan demokrasi Barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan Locke merumuskan teori kontrak sosial sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias Politica. Gagasan dasar teori kontrak sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang taken for granted dan berasal dari Tuhan. Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosila antara individu dalam masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan atau berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka, pada dasarnya teori kontrak sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat sekular.

Kedua, bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang didasarkan pada kodrat ynag mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan hukum kodrat. Ketiga, karena kekuasaan (kedaulatan) negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan atas hak-hak civil (civil rights) dan hak-hak politik (political rights). Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama, dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat, perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalah gunaan.

Teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu di abad pencerahan itu juga merupakan sumbangan besar bagi gagasan-gagasan demokrasi. Pada prinsipnya teori itu menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) negara. Kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh bersifat personal (personal power) atau hanya dikuasai oleh lembaga politik tertentu. Sebab bila demikian menurut Montesquieu akan mudah terjadi penyelewengan kekuasaan dan pelanggaran terhadap kebebasan sipil dan kebebasan politik rakyat. Atas dasar itu, Montesquieu merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara yaitu lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki peran dan fungsinya sendiri. Montesquieu yakin bahwa dengan pemisahan itu tidak akan terjadi sentralisasi kekuasaan yang menyebabkan lahirnya negara kekuasaan (absolute state). Kemungkinan penyelewengan kekuasaan akan mudah dikontrol. Lembaga legislatif misalnya dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Peranan itulah yang menempatkan lembaga legislatif sebagai garda terdepan demokrasi di Barat.


Teori Montesquieu tadi dianut oleh berbagai negara di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Amerika Serikat Trias Politica sangat berpengaruh dan diterapkan sejak negara itu berdiri diabad XVIII. Para perumus Undang-Undang Dasar Amerika amat dipengaruhi oleh Montesquieu. Maka tidak terlalu mengejutkan bila sistem pemerintahan demokratis negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasan Montesquieu. Konsep checks and balances yang dijadikan sebagai mekanisme kontrol politik terhadap kekuasaan negara tidak lain merupakan suatu bentuk elaboratif dari toeri Trias Politica Montesquieu. Pengaruh teori itu juga tampak pada mekanisme politik Amerika dimana seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh kongres selama empat tahun masa jabatannya. Di lain pihak, kongres tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Presiden dan para menterinya juga tidak diperkenankan merangkap jabatan menjadi anggota kongres.

DAFTAR PUSTAKA



Abdulgani, Roeslan. (Tanpa Tahun). Nasionalisme Sebagai Faktor Kekuatan Dalam Percaturan Politik Internasional. Jakarta: Prapanca.

Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman. 1985b. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.

Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachtiar, Harsya. 1974. Percakapan Dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.

Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi. Jakarta: PT. Gramedia.

Downs, Robert. 1961. Buku-Buku yang Merubah Dunia. Jakarta: PT. Pembangunan.

E-edukasi. 2009. Paham-Paham yang Berkembang di Dunia. [serial on line]. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=105&fname=sej202_09.htm. [25 Januari 2009].

Kohn, Hans. 1876. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan.

Mestoko, Sumarsono. 1985. Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soeratman, Darsiti. 1965. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern. Yogyakarta: Vita.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Swastika, Kayan. 2007. Sejarah Intelektual Modul Bahan Belajar Mandiri. Jember: IKIP PGRI Jember.

Ward, Barbara. 1933. Lima Pokok Pikiran yang Merubah Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wikipedia. 2009a. Demokrasi. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009b. Fasisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Fasisme. [25 Januari 2009].

Wikipedia. 2009f. Nasionalisme. [serial on line]. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. [25 Januari 2009].


William Ebenstein. 1987. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment