Lonsensus, yang dalam bahasa
politik di negeri ini sering disebut mufakat, bukan saja jadi pegangan yang
didengung-dengungkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga tampaknya dalam
lapangan ilmu sosial, khususnya sejarah. Demikianlah umpamanya dengan pemakaian
kata sejarah nasional dan sejarah daerah, harus disepakati bahwa maksud dari
istilah yang pertama ialah sejarah dari wilayah yang kini disebut Republik
Indonesia, dan yang kedua adalah sejarah dari daerah-daerah administratif dari
wilayah itu, jadi propinsi. Bahwa propinsi itu adalah suatu putusan
administratif politik, yang sejak mulai proklamasi kemerdekaan telah mengalami
berbagai perubahan besar (mula-mula jumlah propinsi hanya delapan, sekarang
menjadi 33), tampaknya tidaklah terlalu merisaukan.
Jika sekiranya sejarah nasional
diartikan sebagai sejarah dari bangsa Indonesia, maka ditinjau dari kemerdekaan
Indonesia yang terjadi pada tahun 1945 atau abad ke-20, maka sejarah nasional
hanyalah sejarah yang membicarakan keadaan dari awal abad ini saja dan keadaan sebelumnya,
jelas bukan. Dan jika memang demikian maka penamaan sejarah nasional atau
sejarah Indonesia yang mencakup zaman dari seluruh daerah yang kini disebut
republik Indonesia haruslah diterima tak lebih daripada nama berdasarkan
konsensus saja. Konsensus ini tidak pula terlepas dari patokan normatif. Ia
ditentukan bukan oleh keharusan logis dari sasaran studi, tetapi oleh tuntutan
ideologis. Maka pencampuran konsensus ini dengan pengujian berdasarkan disiplin
ilmu sejarah akan menimbulkan kekacauan saja (Abdullah, 1996: 12-13).
Tetapi kata “sejarah daerah” sebaiknya
harus ditinjau ulang. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pengertian yang tidak
mudah dirangkul begitu saja. Apakah yang dimaksud daerah?... Dalam pengertian
administratif, daerah merupakan kesatuan teritorial yang ditentukan jenjang
hierarkinya. Daerah terbawah adalah bagian dari daerah yang di atasnya
(kabupaten adalah bagian dari propinsi). Sedangkan dalam pengertian politik,
daerah biasanya dipertentangkan dengan pusat, yang dianggap nasional.
Kesulitan ini terletak pada
kenyataan bahwa daerah sebagai unit administratif, sering tidak sesuai dengan
daerah dalam pengertian etnis kultural. Jika daerah administratif Bali masih
dapat dianggap sebagai kesatuan etnis kultural dan Aceh (walaupun Gayo mungkin
akan keberatan) mungkin, dengan hati-hati bisa diperlukan begitu pula, maka
daerah administratif Sumatera Utara adalah jelas kumpulan dari beragam daerah
etnis kultural. Ketidaksesuaian ini akan terus berlanjut apabila diperhitungkan
pula bahwa daerah etnis kultural sifatnya selalu bergerak, mobile,
dinamis dan tidak ditentukan oleh suatu putusan yang telah dipertimbangkan.
Sejarah Minangkabau umpamanya tidaklah identik dengan sejarah Sumatera Barat,
sebab yang pertama adalah konsep etnis kultural yang selalu bergerak, sedangkan
yang kedua ditentukan oleh politik administratif.
Daerah dalam pengertian etnis
kultural adalah pula yang merupakan suatu unit kesadaran historis, dalam arti
bahwa daerah itu masing-masing pada dirinya dan baginya adalah pusat perkisaran
sejarah. Tiap daerah etnis kultural bukan saja mengalami kesatuan historis,
tetapi juga mempunyai konsep tentang kelampauan yang khas. Jadi penamaan
sejarah daerah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dimaksud.
Ketidakjelasan pengertian ini, di satu pihak menimbulkan harapan yang tidak
sesuai dari sudut keragu-raguan dalam memutuskan sasaran studinya. Sebab itu
pemakaian istilah sejarah daerah yang tidak diikuti oleh pembatasan yang jelas
sebaiknya ditinggalkan saja (Abdullah, 1996: 14).
Karena itulah sebaiknya dipakai
istilah yang netral dan diharapkan berarti tunggal yaitu sejarah lokal.
Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah tempat, ruang. Jadi
sejarah lokal hanyalah berarti sejarah dari siatu tempat, suatu lokalitas, yang
batasannya ditentukan oleh perjanjian yang diajukan penulis sejarah. Batasan
geografisnya bisa suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah
mencakup dua, tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku
bangsa Jawa, umpamanya) dan juga dapat pula suatu kota, atau malahan suatu
desa. Dengan begini sejarah lokal dengan sederhana dapat dirumuskan sebagai
kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada
pada daerah geografis yang terbatas (menurut Finberg suatu komunitas, menurut
Gonbert suatu desa atau beberapa desa, atau kota kecil atau juga kota ukuran
sedang).