B.
Aturan-Aturan Dasar dalam Pemikiran
Yang
dimaksud aturan-aturan dasar dalam pemikiran ialah seperangkat hukum atau norma
tentang hubungan antara kebenaran premis-premis (antepremis) atau antecedent
dengan kesimpulannya. Aturan-aturan dasar dalam pemikiran ini ada empat macam,
yaitu :
1. Apabila
antecedent benar, kesimpulan harus
juga benar (exvero nonnisi verum);
2. Apabila
antecedent palsu, kesimpulan bisa
benar, bisa palsu (ex falso quodlibet);
3. Apabila
kesimpulan benar, antecedent dapat
benar, dapat pula palsu;
4. Apabila
kesimpulan palsu, antecedent pasti
juga palsu.
C.
Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran
Prinsip-prinsip
dasar pemikiran ialah asas-asas yang menjamin ketepatan, keseksamaan (corectness), dalam proses pemikiran
dalam rangka untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Itulah sebabnya,
ada juga yang menyebut prinsip-prinsip dasar ini sebagai “asas-asas pemikiran”.
Prinsip-prinsip
dasar pemikiran tidak boleh dan tidak dapat diabaikan dalam proses pemikiran.
Apabila orang mengabaikannya, maka akibatnya hanya kekeliruan (kesesatan), kesalahan, atau kekacauanlah
yang akan didapatkannya.
1. Prinsip identitas (principium identitatis)
Prinsip ini merupakan prinsip pengakuan bahwa
suatu benda adalah benda itu sendiri, dan bukan benda lain; setiap benda identik
dengan dirinya sendiri. (Rumusan dalam bahasa latin : Ens est Quod est).
Dalam logika, prinsip ini berarti: bila
sesuatu sudah diakui (benar), maka
juga harus diakui (benar) semua kesimpulan yang dibuat dari sesuatu yang sudah
diakui (benar) tadi.
2. Prinsip Pertentangan (principium contradictoris)
Menurut prinsip ini, apabila terdapat dua
pernyataan atau keputusan yang saling bertentangan, sekalipun masing-masing
menganggap dirinya benar, tidaklah mungkin kedua-duanya dianggap sama-sama
benar pada saat bersamaan. (Rumusan dalam bahasa latin : Idem nequitsimul esse et non esse sub eodem respectu).
Dalam logika, prinsip ini mengandung arti:
apabila orang telah mengakui sesuatu (benar),
maka jangan kemudian menyimpulkan sesuatu yang berlawanan atau bertentangan
dengan apa yang sudah diakui (benar)
tadi.
3. Prinsip Menolak Kemungkinan Ketiga (principium exclusitertii)
Menurut prinsip ini, bila terdapat dua
pernyataan atau keputusan yang saling bertentangan, tidaklah mungkin
kedua-duanya dianggap sama-sama benar dan/atau sama-sama salah pada saat yang
bersamaan; pastilah salah satu diantaranya salah, tidak mungkin terdapat
kemungkinan ketiga. (Rumusan dalam bahasa latin : Ens aut est aut non est).
4. Prinsip Mencukupkan (principium rationis sufficientis)
Menurut prinsip ini, tiap-tiap keputusan baru
merupakan akibat dari keputusan yang
lalu (sebab). Kebenaran dari akibat tergantung pada kebenaran sebab. Artinya, jikalau keputusan yang
menjadi sebab itu salah, maka
keputusan yang menjadi akibat sudah
barang tentu juga salah. (Rumusan dalam bahasa latin : Quid quid est, habet rationem sui sufficientem).
D.
Klasifikasi Pemikiran
Para
logisi (pakar logika) lazimnya membagi pemikiran menjadi dua macam yaitu : (i)
Pemikiran Langsung dan (ii) Pemikiran Tidak Langsung.
1. Pemikiran Langsung (immediate inference)
Menurut
Hasbullah Bakry (1981) suatu pemikiran
dikatakan sebagai pemikiran langsung apabila keputusan, kesimpulan atau
kebenaran baru, yang diperoleh dari proses pemikiran itu hanya didasarkan atas
satu keputusan atau kebenaran yang sebelumnya telah ada. Misalnya, aku tahu
bahwa Nana pada tanggal 25 Desember 2008 tengah berada di Jakarta. Atas dasar
itu, akupun segera berkesimpulan bahwa pada saat yang bersamaan (25 Desember
2008) Nana pastilah tidak ada di Jember.
Suatu
cara pemikiran langsung yang paling penting dan terkenal ialah cara “pembalikan”
(obversion), yaitu membalik keputusan
atau kebenaran yang sebelumnya telah ada. Berikut ini dikemukakan beberapa
contoh pemikiran langsung dengan cara pembalikan.
a.
- Semua manusia akan mati.
- Maka, tidak
ada manusia yang tidak akan mati.
b.
- Sebagian mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin.
- Tentunya,
sebagian lain mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember malas.
2. Pemikiran Tidak Langsung
Pemikiran
tidak langsung ialah pemikiran dimana keputusan baru, kebenaran baru atau kesimpulan baru yang diperoleh dari
proses pemikiran didasarkan atas :
a. Keputusan-keputusan
atau kebenaran-kebenaran yang bersifat umum (universal) yang sebelumnya telah
ada;
b. Kasus-kasus
khusus atau unik, individual, dan konkrit;
c. Fakta-fakta
individual.
Sejalan
dengan variasi dasar perolehan keputusan, kebenaran, atau kesimpulan, dalam
pemikiran tidak langsung sebagaimana tersebut di atas, maka para logisi
lazimnya membagi pemikiran tidak langsung menjadi tiga macam yaitu: (i) Induksi, (ii) Argumen kumulatif, dan (iii) Deduksi.
a. Induksi
Induksi ialah suatu pemikiran yang kesimpulan atau kebenaran baru yang diperolehnya
didasarkan atas kejadian-kejadian khusus atau fakta-fakta yang unik. Dalam kalimat
lain dapat juga dirumuskan: induksi adalah suatu
pemikiran yang proses gerak akal-pikiran berjalan dari/atas dasar
pengetahuan-pengetahuan, keputusan-keputusan, atau kebenaran-kebenaran, yang
khusus menuju pengetahuan, keputusan, atau kebenaran, yang umum.
Di bawah ini disajikan sebuah contoh
pemikiran induksi.
·
Tembaga adalah penyalur listrik
·
Besi adalah penyalur listrik
·
Perak adalah penyalur listrik
·
Emas adalah penyalur listrik
·
Jadi, kesimpulannya: semua logam adalah penyalur listrik.
Setiap pemikiran induksi selalu memiliki tiga
ciri khas. Pertama, bersifat “sintetis”.
Artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan mensintesakan atau menggabungkan
kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, “general”. Artinya, kesimpulan yang ditarik selalu
meliputi/menjangkau jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum
sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga, “aposteriori”. Artinya, kasus-kasus
khusus, individual dan konkrit yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen
selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi atau observasi empiris.
Oleh karena ciri-ciri inheren-nya
itu, setiap pemikiran induksi tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan
karena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak.
Suatu pemikiran induksi hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik,
tergantung pada seberapa besar (tinggi) derajad probabilitas (kebolehjadian)
yang diberikan premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak
kasus sejenis yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen, semakin besar
(tinggi) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas
kesimpulannya, berarti semakin baiklah pemikiran induksi tersebut. Sebaliknya,
semakin sedikit (kurang) kasus sejenis yang dijadikan titik tolak atau landasan
argumen, semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil
(rendah) probabilitas kesimpulannya, berarti semakin kurang baiklah pemikiran
induksi tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah dengan cermat dua
contoh pemikiran induksi berikut ini.
A
|
B
|
Apel 1 keras, hijau
masam rasanya
|
Apel 1 keras, hijau
masam rasanya
|
Apel 2 keras, hijau
masam rasanya
|
Apel 2 keras, hijau
masam rasanya
|
Apel 3 keras, hijau
masam rasany
|
Apel 3 keras, hijau
masam rasanya
|
Jadi, semua apel
keras, hijau masam rasanya.
|
Apel 4 keras, hijau
masam rasanya
|
|
Apel 5 keras, hijau
masam rasanya
|
|
Apel 6 keras, hijau
masam rasanya
|
|
Jadi, semua apel
keras, hijau masam rasanya.
|
Dari
kedua contoh pemikiran induksi di atas, dapat dinyatakan bahwa pemikiran
induksi (A) kurang baik jika dibandingkan dengan pemikiran induksi (B); atau,
sebaliknya, pemikiran induksi (B) lebih baik daripada pemikiran induksi (A).
Sebab, kasus sejenis (apel) yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen
pada pemikiran induksi (B) lebih banyak, sehingga dengan begitu semakin besar
(tinggi) pula probabilitas kesimpulannya.
b. Argumen Kumulatif
Argumen kumulatif ialah suatu pemikiran yang kesimpulan
atau kebenaran baru yang diperolehnya didasarkan atas fakta-fakta individual.
Dalam kalimat lain dapat juga dirumuskan: argumen kumulatif adalah suatu
pemikiran yang berdasar pada alasan-alasan yang menunjuk pada fakta yang sama
sebagai satu-satunya penjelasan. Pemikiran argumen kumulatif, atau yang sering juga disebut Konvergensi Kemungkinan-Kemungkinan, ini lazim digunakan dalam
disiplin ilmu Sejarah.
Untuk lebih memperjelas pengertian mengenai pemikiran
argumen kumulatif, perhatikanlah contoh berikut ini. Sepuluh ahli sejarah
sejaman dengan Kaisar Nero memberikan kesaksian bahwa Kaisar Nero mati bunuh
diri. Taruhlah misalnya, masing-masing memberi kesaksian tanpa tergantung satu
sama lain dan tidak ada pula motif-motif negatif yang terselib dalam kesaksian
mereka. Singkat kata, kesaksian mereka obyektif. Lalu, penjelasan yang bisa
diterima, yang disimpulkan dari kesaksian-kesaksian mereka, tidak lain adalah
fakta Kaisar Nero benar-benar mati bunuh diri.
c. Deduksi
Deduksi
adalah suatu pemikiran yang perolehan keputusan, kebenaran baru, atau
kesimpulannya, didasarkan atas keputusan-keputusan atau kebenaran-kebenaran
yang bersifat umum (universal) yang sebelumnya telah ada. Atau, dapat juga
dirumuskan, deduksi adalah suatu pemikiran dimana proses akal-pikiran bergerak dari/atas
dasar pengetahuan, keputusan atau kebenaran yang umum menuju/untuk mencapai
pengetahuan, keputusan atau kebenaran yang khusus (atau paling sedikit kurang
umum).
Ada
banyak cara untuk melahirkan bentuk pemikiran deduksi dan dalam praksis sering
tidak teratur. Sebuah penjelmaan deduksi yang sempurna ialah apa yang disebut
“silogisme” (asal kata sylogisma
dalam bahasa Yunani, yang berarti : konklusi
atau kesimpulan). Dalam silogisme,
keputusan-keputusan (proposisi-proposisi) diatur sedemikian rupa sehingga
hubungan-hubungannya menjadi jelas. Itulah sebabnya mengapa silogisme dikatakan
sebagai penjelmaan deduksi yang sempurna, dan bahkan oleh W. Poespoprodjo
(1985) dianggap sebagai bentuk pemikiran yang paling sempurna.
Menurut
W. Poespoprodjo (1985), silogisme adalah suatu bentuk pemikiran dimana kita
melalui aspek hubungan logis menyimpulkan dari suatu kebenaran umum ke
kebenaran yang kurang umum. Sementara itu, menurut Hasbullah Bakry (1981)
silogisme adalah suatu cara pengambilan kesimpulan (keputusan baru atau
keputusan ketiga) dari dua macam keputusan yang mengandung unsur persamaan dan
salah satunya harus universal, sehingga dengan demikian kebenaran dari
keputusan baru atau ketiga yang merupakan kesimpulan itu sama dengan kebenaran
yang ada dalam dua macam keputusan yang terdahulu.
Berikut
ini disajikan sebuah contoh silogisme.
Keputusan
I : Segala sesuatu yang rohani tidak dapat musnah
Keputusan
II : Jiwa manusia adalah rohani
Keputusan
III : Jadi, jiwa manusia tidak dapat musnah.
Keputusan
I dan II yang mewujudkan antecedent disebut “premis-premis silogisme”,
sedangkan keputusan III disebut “kesimpulan” atau “konklusi”. Keputusan I dan
II atau premis-premis silogisme merupakan titik tolak atau landasan pemikiran.
Sementara keputusan III atau kesimpulan merupakan tujuan pemikiran.
Premis
I disebut Premis Mayor, artinya premis yang didalamnya memuat terminus
mayor (T) yakni term atau istilah yang akan menjadi predikat (P) kesimpulan.
Premis II disebut Premis Minor, artinya premis
yang didalamnya memuat Terminus Minor (t) yakni term atau istilah yang
akan menjadi subyek (S) kesimpulan. Sedangkan term atau istilah yang merupakan
perantara, penghubung atau pembanding antara Terminus Mayor (T) dan Terminus
Minor (t) disebut Terminus Medius (M) yakni term atau istilah perantara,
penghubung, pembanding atau disebut juga term penengah.
STRUKTUR DAN UNSUR SILOGISME
(S) (P)
Setiap manusia akan mati (Premis Mayor)
(M) (T)
Antecedent
(S) (M)
Sumitro adalah manusia (Premis Minor)
(t) (M)
(S) (P)
Consequent : Maka, Sumitro akan mati (Kesimpulan)
(t) (T)
Berdasarkan
paparan dan contoh tentang silogisme tersebut diatas, maka dapat disimpulkan :
(1) Kekuatan silogisme sesungguhnya bertumpu
pada hubungan term-term dalam premis-premis (antepremis) atau antecedent.
(2) Dengan silogisme kita bukannya hendak
menentukan hubungan empirisnya, tetapi terutama hendak menentukan hubungan
logisnya.
Setiap
pemikiran deduksi senantiasa memiliki tiga ciri khas. Pertama, “analitis”. Artinya, kesimpulan ditarik
hanya dengan menganalisis proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah
ada. Kedua, “tautologis”. Artinya,
kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam premis-premisnya. Ketiga, “apriori”. Artinya, kesimpulan ditarik
tanpa berdasarkan pengamatan inderawi atau observasi empiris.
Secara
umum, silogisme dibedakan menjadi dua macam yaitu : (i) Silogisme Kategoris dan (ii)
Silogisme Hipotetis.
(1)
Silogisme Kategoris (categorical syllogism)
Silogisme
kategoris ialah silogisme yang terdiri dari tiga keputusan atau proposisi
kategoris
Hukum Silogisme Kategoris :
(a) Tum
re, tum sensu, terminus esto triplex
Artinya:
hanya diperbolehkan memiliki tiga buah term, yaitu terminus mayor, medius dan
minor
(b) Latius hos quam praemissae conlusio non vult
Artinya:
kesimpulan tidak boleh melebihi dari apa yang diijinkan oleh premis-premisnya.
(c) Nequaquam capiat medium conclusic fas est
Artinya
: kesimpulan tidak boleh memuat terminus medius.
(d) Aut somel aut iterum, medium generaliteresto
Artinya
: terminus medius dan/atau premis mayor harus universal distributive.
(e) Ultraque si praemissae neget, nihil inde
sequitut
Artinya:
antecedent atau premis-premis tidak boleh sama-sama negatif
(f) Nihil
sequitut geminis ex particularibus unquam
Artinya:
antecedent atau premis-premis tidak boleh sama-sama partikular
(g) Ambae affirmantes nequeunt generare negantem
Artinya:
apabila kedua premis afirmatif, maka kesimpulannya juga harus afirmatif atau
tidak pernah negatif
(h) Pioerm sequitur semper conclusio partem
Artinya:
kesimpulan tidak boleh lebih kuat daripada premis. Jadi, apabila salah satu
premis negative, kesimpulan juga harus negative; apabila salah satu premis
particular, kesimpulan juga harus particular.
Silogisme
kategoris ada empat macam. Perbedaan dari tiap-tiap bentuk Silogisme kategoris
itu terletak pada perubahan letak terminus medius (M) pada premis mayor dan
premis minor.
I II III IV
M
P P
M M P P M
S
M S
M M S M
S
S
P S
P S P S P
SUB-PRAE PRAE-PRAE
SUB-SUB PRAE-SUB *)
---------------
* ) Istilah-istilah Sub-Prae, Prae-Prae,
Sub-Sub,
dan Prae-Sub,
menunjuk fungsi terminus medius (M) di dalam premis-premis tiap-tiap bentuk. Sub singkatan dari “subyek”, Prae singkatan dari
“praedicatum” (predikat).
Bentuk I (disingkat: Sub-prae prima) artinya:
M menjadi subyek dalam premis mayor, dan menjadi predikat di dalam premis
minor. Aturan khusus :
“ Premis minor harus
afirmatif, premis mayor universal “.
Contoh
:
- Semua
mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin.
- Lusri adalah mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember.
- Jadi, Lusri rajin.
Bentuk II (disingkat: Prae-prae secunda) artinya:
M menjadi predikat di dalam premis mayor maupun premis minor.
Aturan khusus :
“ Sebuah premis harus negative, premis mayor
universal “.
Contoh
:
- Semua
burung mempunyai sayap
- Semua kambing tidak mempunyai sayap
- Jadi, semua kambing bukan burung.
Bentuk III (disingkat: Sub-sub tertia) artinya:
M menjadi subyek di dalam premis mayor maupun premis minor.
Aturan khusus :
“ Premis minor harus afirmatif,
kesimpulan partikular “.
Contoh
:
- Semua
mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin
- Sebagian mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember
sudah bekerja
- Jadi,
sebagian dari orang yang sudah bekerja
itu rajin.
Bentuk IV (disingkat: Prae-sub quarta) artinya:
M menjadi predikat dalam premis mayor, dan menjadi subyek dalam premis minor.
Aturan khusus :
(a) apabila premis mayor afirmatif, premis
minor harus universal;
(b) apabila premis minor afirmatif, kesimpulan
harus partikular;
(c) jika salah satu premis negatif, premis
mayor harus universal.
Contoh
:
- Semua
ABRI beruniform
- Semua yang beruniform gagah
-
Jadi, sebagian dari yang gagah
adalah ABRI.
Apabila
keempat macam bentuk silogisme kategoris tersebut di atas kita kombinasikan,
yakni dengan merubah aspek kualitas dan kuantitasnya, maka akan menghasilkan 19
(sembilan belas) kemungkinan kombinasi yang memenuhi syarat-syarat silogisme
yang benar. Kesembilan belas kemungkinan kombinasi tersebut adalah :
(a) dari Bentuk I (empat macam kombinasi), yaitu :
M a P M
e P M a P M e P
S a P S
e P S i P S o P
(b) dari Bentuk II (empat macam
kombinasi), yaitu
P
e M P e M P a M P
a M
S
a M S i M S e M S
o M
(c)
dari Bentuk III (enam macam
kombinasi), yaitu :
M a P M
e P M a
P M I P M
o P M
e P
M a S
M a S M
I S M
a S M
a S M
I S
S
I P S o P
S i P
S i P S
o P S
o P
(d) dari
Bentuk IV (lima macam kombinasi), yaitu :
P a M P
i M P a
M P e M P
e M
M
a S M
a S M
e S M
a S M
i S
S i P S
i P S e P S o P S
o P
(2) Silogisme
Hipotetis (hypothetical syllogism)
Silogisme
hipotetis ialah silogisme yang premis mayornya adalah keputusan (proposisi)
hipotetis atau majemuk, dan premis minornya mengakui atau menolak salah satu
bagian dari premis mayor.. Hasbullah Bakry (1981) secara singkat menyebut
silogisme hipotetis ini sebagai “Silogisme Bersyarat”.
Hukum Silogisme Hipotetis :
(a) Mengakui
syarat adalah mengakui yang disyaratkan
Contoh
:
- Jika Lusri bekerja, ia ada
- Lusri bekerja
- Jadi,
ia ada.
Tetapi,
waspadalah, jangan membalik hukum tersebut. Sebab, mengakui yang disyaratkan tidak
berarti mengakui syaratnya
Contoh
:
- Jika
Lusri bekerja, ia ada
- Lusri
ada
- Jadi, ia
bekerja.
(Kesimpulan
ini tidak sah, karena Lusri dapat ada dan
ia tidak bekerja).
(b)
Menolak
yang disyaratkan adalah menolak syarat
Contoh
:
- Jika
Lusri bekerja, ia sehat
- Ia
tidak sehat
- Jadi, ia
tidak bekerja.
Tetapi,
awaslah, jangan membalik hukum tersebut. Sebab, menolak syarat tidak berarti
menolak yang disyaratkan.
Contohnya
:
- Jika
Lusri bekerja, ia sehat
- la
tidak bekerja
- Jadi, ia
tidak sehat.
(Kesimpulan
ini tidak sah, karena dapat terjadi Lusri
sehat dan tidak bekerja).
Silogisme
hipotetis ada tiga macam bentuk, yaitu: (i)
Silogisme Kondisional, (ii) Silogisme Disjungtif, dan (iii) Silogisme Konjungtif.
(a) Silogisme Kondisional
lalah
silogisme yang premis mayornya berupa
keputusan atau proposisi kondisional (bersyarat).
Contohnya
:
- Apabila
si pasien tidur, ia akan sembuh
- la tidur
- Maka,
ia akan sembuh.
Silogisme Kondisional memiliki dua macam
corak, yaitu :
(1) Modus Ponens atau Modus Ponendo-Ponens
Yakni
corak silogisme kondisional yang apabila antecedent-nya diakui pada premis
minor, maka consequent-nya juga harus diakui pada kesimpulan.
Contohnya
sama seperti contoh-contoh yang baru disebut diatas.
(2) Modus Tollens atau Modus Tollende-Tollens
Yakni
corak silogisme kondisional yang apabila consequent ditolak pada premis minor,
maka antecedent juga harus ditolak pada kesimpulan.
Contohnya
:
- Jika
tadi malam hujan, jalannya pasti basah
- Jalannya tidak basah
- Jadi,
tadi malam tidak hujan.
(b) Silogisme Disjungtif
Ialah
silogisme yang premis mayornya berbentuk keputusan (proposisi) disjungtif.
Contohnya
:
- Kamu
atau saya yang pergi
- Kamu
tidak pergi
- Maka, sayalah
yang pergi.
Silogisme
disjungtif mempunyai dua macam corak, yaitu:
(1) Modus Ponendo Tollens
Yakni
corak silogisme disjungtif yang mengakui satu bagian disjungtif pada premis
minor, tetapi menolak bagian disjungtif lainnya pada kesimpulan.
Contohnya
:
- Planet
bumi kita ini diam atau berputar
- Planet bumi kita ini berputar
- Berarti, planet
bumi kita ini tidak diam.
(2) Modus Tollendo Ponens
Yakni
corak silogisme disjungtif yang menolak satu bagian disjungtif pada premis
minor, tetapi mengakui bagian disjungtif lainnya pada kesimpulan.
Contohnya
:
- Planet bumi kita ini diam atau berputar
- Planet
bumi kita ini tidak diam
- Jadi, planet
bumi kita ini berputar.