Friday, 28 August 2015

KONSEPSI DASAR ANAK USIA DINI DAN PERKEMBANGANNYA

Hakekat ANAK USIA DINI

          Siapakah yang dimaksud dengan ANAK USIA DINI ?
         
Menurut definisi umum, sebagaimana dirumuskan oleh NAEYC (National Association for Young Children), ANAK USIA DINI adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia antara 0 – 8 tahun.

Individu atau anak usia antara 0 – 8 tahun dipandang memiliki kharakteristik khas atau spesifik, yang berbeda dan membedakan mereka dengan individu/anak usia di atasnya. Atas dasar asumsi seperti itulah, maka pendidikan bagi ANAK USIA DINI dipandang perlu untuk dikhususkan dalam bentuk Pendidikan ANAK USIA DINI (PANAK USIA DINI).
         
Berdasarkan perkembangannya, ANAK USIA DINI diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe kelompok sebagai berikut:

a.  Kelompok Bayi ( usia 0 – 12 bulan )

b.  Kelompok Bermain ( usia 1 – 4 tahun )

c.  Kelompok Pra Sekolah ( usia 5 – 6 tahun )

d.  Kelompok Usia Sekolah ( usia 7 – 8 tahun ).


          Sekadar untuk catatan tambahan, perlu kiranya diketahui bahwa konsep PANAK USIA DINI di Indonesia agak berbeda dengan konsep PANAK USIA DINI di negara-negara maju. Di Indonesia, PANAK USIA DINI dikonsepsikan sebagai pendidikan anak usia 0 – 6 tahun, bukan 0 – 8 tahun sebagaimana dikonsepsikan di negara-negara maju. Satuan PANAK USIA DINI di Indonesia meliputi: (i) Pendidikan Keluarga, (ii) Taman Bermain (Play Group) dan Ranak usia diniatul Atfal, (iii) Taman Kanak-Kanak (TK).

Kharakteristik ANAK USIA DINI

          Sebagaimana telah dikemukakan ANAK USIA DINI (anak usia antara 0 – 8 tahun) merupakan sekelompok individu yang memiliki kharakteristik khas atau spesifik, yang berbeda dan membedakan mereka dengan individu/anak usia di atasnya.
          Apa kharakteristik khas atau spesifik ANAK USIA DINI itu ?

          Menurut Richard D. Kellough (1996), kharakteristik khas atau spesifik ANAK USIA DINI meliputi sifat-sifat sebagai berikut:
§  Egosentris
§  Memiliki rasa ingin tahu yang besar
§  Makhluk sosial
§  Unik
§  Kaya dengan fantasi
§  Memiliki daya konsentrasi yang pendek
§  Merupakan masa belajar yang paling potensial.

Prinsip-Prinsip Perkembangan ANAK USIA DINI

          Prinsip-prinsip  perkembangan ialah pola-pola umum dalam suatu proses perubahan alamiah yang berjalan secara teratur, universal dan berkesinambungan. Yang dimaksud dengan perubahan alamiah yang berjalan secara teratur adalah perkembangan yang berjalan secara normal, sesuai dengan tata urutan yang sudah lazim. Universal, artinya bahwa pola-pola perkembangan pada manusia itu pada umumnya berjalan relatif sama serta berlaku umum, tanpa melihat perbedaan ras atau latar belakang sosial, budaya maupun ekonomi. Berkesinambungan, artinya adalah bahwa perkembangan meskipun berlangsung secara gradual, tahap demi tahap, namun antar tahapan itu saling sinambung, berkelanjutan, sedemikian rupa sehingga perkembangan itu sendiri pada akhirnya merupakan suatu produk yang bersifat kumulatif.
         
Menurut S. Bredekamp & C. Copple (1997), prinsip-prinsip perkembangan ANAK USIA DINI mencakup 12 (dua belas) prinsip sebagai berikut:
§  Aspek-aspek perkembangan saling terkait secara erat
§  Perkembangan terjadi dalam suatu urutan
§  Perkembangan berlangsung dengan rentang yang bervariasi antar anak dan juga antar aspek perkembangan
§  Pengalaman awal memiliki pengaruh “kumulatif” dan “tertunda” terhadap perkembangan anak
§  Perkembangan berlangsung ke arah kompleksitas, organisasi, dan internalisasi yang lebih meningkat
§  Perkembangan dan belajar terjadi dalam, dan dipengaruhi oleh, konteks sosial dan kultural yang majemuk
§  Anak adalah pembelajar aktif, mengambil pengalaman fisik dan sosial, serta pengetahuan yang ditransmisikan secara kultural, untuk membangun pemahaman mereka sendiri tentang lingkungan sekitar mereka
§  Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari interaksi kematangan biologis dan lingkungan (lingkungan fisik maupun sosial)
§  Bermain merupakan refleksi dan sekaligus sarana penting bagi perkembangan anak
§  Perkembangan mengalami percepatan manakala anak memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan yang baru diperoleh serta ketika mereka mereka dihadapkan pada suatu tantangan di atas level penguasaannya
§  Anak mendemonstransikan mode-mode yang berbeda untuk mengetahui dan berbeda pula dalam merepresentasikan apa yang mereka tahu
§  Anak berkembang dan belajar terbaik dalam suatu konteks komunitas yang dirasakannya nyaman dan aman, baik secara fisik-biologis maupun psikologis.

Sementara itu, menurut Elizabeth B. Hurlock (1987), prinsip-prinsip perkembangan ANAK USIA DINI meliputi 8 (delapan) prinsip sebagai berikut:
§  Perkembangan melibatkan perubahan kualitatif
§  Perkembangan usia dini lebih kritis dibandingkan perkembangan pada usia sesudahnya
§  Perkembangan melibatkan kematangan (maturation) dalam perkembangan fisiologis dan hasil belajar sebelumnya
§  Pola perkembangan dapat diramalkan
§  Di dalam pola perkembangan selalu terdapat perbedaan individual (individual differences)
§  Setiap tahapan perkembangan mengandung harapan sosial
§  Setiap aspek perkembangan mengandung potensi bahaya

§  Kebahagiaan mempunyai makna sangat penting dan dalam bagi perkembangan.
Baca Selengkapnya >>>

KONSEP-KONSEP DASAR PERKEMBANGAN

Hakekat Perkembangan

          Perkembangan pada dasarnya ialah suatu proses perubahan (change), yang dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan manusia (Santrock & Yussen, 1992).
         
Apakah setiap proses perubahan dapat disebut sebagai perkembangan ?
         
Tidak setiap proses perubahan dapat disebut sebagai perkembangan. Suatu proses perubahan dapat disebut sebagai perkembangan apabila secara inheren memiliki ciri-ciri kharakteristik sebagai berikut:
·         Gradual
·         Kontinyu
·         Kumulatif
·         Sistematis,
·         Kompleks, dan
·         Holistik.

 Tahap dan Tugas Perkembangan

        Sebagai suatu proses perubahan yang bersifat gradual, perkembangan berlangsung secara bertahap, atau melewati beberapa fase. Dalam konteks inilah, kemudian muncul konsep “tahap-tahap perkembangan” (developmental stages) dan “tugas-tugas perkembangan” (developmental tasks).

 1. Tahap Perkembangan

Tahap perkembangan (developmental stages) ialah tahapan-tahapan atau fase-fase yang ada/dilalui dalam proses perubahan di sepanjang siklus kehidupan manusia.
         
Secara umum, perkembangan manusia melalui 6 tahap atau fase sebagai berikut:
a.  Masa Prakelahiran (prenatal)
b.  Masa Bayi (sejak lahir hingga usia 18 – 24 bulan)
c.  Masa Anak-Anak :
(i)  Masa Anak-Anak Awal (sejak akhir masa bayi hingga usia 5-6 tahun, atau usia TK)
(ii) Masa Anak-Anak Tengah/Akhir (usia 7-12 tahun, atau usia SD)
d.  Masa Remaja (usia 13 hingga 18-22 tahun)
e.  Masa Dewasa :
(i)  Masa Dewasa Awal
(ii) Masa Dewasa Muda
f.   Masa Lanjut Usia (Santrock, 1995). 

2. Tugas Perkembangan

Tugas perkembangan (developmental tasks) adalah seperangkat perilaku dan ketrampilan/kemampuan yang harus dicapai atau dikuasai manusia pada tahap perkembangan tertentu (Kartadinata dan Dantes, 1996/1997). Dalam rumusan kalimat yang agak berbeda, Robert J. Havighurs merumuskan definisi tugas perkembangan sebagai sebagian tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan individu. Keberhasilan individu mencapai tugas-tugas itu akan dapat memberikan kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas berikutnya. Sebaliknya, jika gagal, akan menimbulkan kekecewaan bagi individu, penolakan oleh masyarakat, serta kesulitan dalam tugas perkembangan berikutnya. .

Sebagai contoh ilustratif, berikut ini dikemukakan deskripsi tugas-tugas perkembangan dari masa bayi dan masa anak usia TK.

a. Tugas Perkembangan Masa Bayi :
§  Belajar berjalan
§  Belajar makan makanan padat
§  Belajar bicara
§  Belajar mengendalikan gerakan badan
§  Belajar membentuk konsep sederhana tentang realitas fisik dan sosial
§  Belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang tua, kakak-adik, dan orang lain
§  Belajar membedakan yang benar dan salah (Kartadinata dan Dantes, 1996/1997; Sumantri dan Syaodih, 2005)..

b. Tugas Perkembangan Masa Anak Usia TK :
§  Belajar berkembang menjadi pribadi yang mandiri
§  Belajar memberi, berbagi, dan memperoleh kasih sayang
§  Belajar bergaul
§  Belajar mengontrol diri
§  Belajar bermacam-macam peran (role) di masyarakat
§  Belajar mengenal tubuh
§  Belajar mengembangkan ketrampilan motorik (halus maupun kasar)
§  Belajar mengenal lingkungan fisik
§  Belajar menguasai kosa kata baru untuk memahami suatu hal atau orang lain
§  Belajar mengembangkan perasaan positif dengan kasih sayang terhadap lingkungan di sekitarnya (Triyon & Lilienthal, 2003).

 Aspek-Aspek Perkembangan

          Sebagai suatu proses perubahan yang kompleks dan holistik, perkembangan hakekatnya merupakan proses dan produk interaksi dari berbagai aspek yang disebut sebagai “aspek-aspek perkembangan(developmental aspects).

Santrock (1995) dan Izzaty (2005) mengidentifikasi serta mengklasisifikasi  aspek-aspek perkembangan tersebut menjadi 3 (tiga) yaitu: (i) Biologis, (ii) Kognitif, dan (iii) Sosio-Emosional. Aspek biologis adalah aspek perkembangan yang berhubungan dengan perubahan fisik atau motorik individu. Aspek kognitif ialah aspek perkembangan yang berkenaan dengan perubahan pada pemikiran atau intelegensi, dan bahasa individu. Adapun aspek perkembangan sosio-emosional mencakup perubahan pada relasi individu dengan orang lain, serta perubahan emosi dan kepribadian yang menyertainya.

Sementara itu, Slamet Suyanto (2005), secara lebih terperinci mengidentifikasi serta mengklasifikasi aspek-aspek perkembangan  itu ke dalam 7 (tujuh) aspek berikut ini: (i) Fisik-Motorik, (ii) Intelektual/Kognitif, (iii) Moral, Disiplin dan Etika, (iv) Sosial, Empati dan Kerjasama, (v) Emosional, Harga Diri dan Aktualisasi, (vi) Bahasa dan Literasi, serta (vii) Kreativitas dan Daya Cipta.

 Teori dan Variabel Perkembangan

1. Teori Perkembangan

Teori-teori tentang perkembangan, secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

a.  Nativisme/Naturalisme/Predestinasi atau Predeterminasi
Tokoh-tokoh dari kelompok teori ini:
§  Arthur Schopenhauer
§  J.J. Rousseau, dan G. Mendel.

b.  Empirisme
Tokoh-tokoh dari kelompok teori ini adalah:
§  John Locke, dengan Tabularasa Theory-nya
§  E. Kant

c.  Konvergensi
Tokoh-tokoh dari kelompok teori ketiga ini antara lain adalah:
§  William Stern
§  Erik H.. Erikson.

2. Variabel-Variabel Perkembangan

          Pada pokoknya, ada 2 variabel (faktor) yang secara umum diakui para ahli sebagai determinan dalam perkembangan. Kedua variabel determinan dimaksud adalah:

a. Variabel Bawaan/Pembawaan/Keturunan, yang lazim disebut juga sebagai “faktor atau fakta genetik”. Variabel ini merupakan faktor  perkembangan yang bersifat internal;

b.  Variabel Lingkungan, sebagai faktor perkembangan yang lebih  bersifat eksternal.
Variabel kedua ini mencakup antara lain:
§  Faktor kesehatan (asupan gizi)
§  Faktor lingkungan fisik, dan
§  Faktor psikososial (stimulasi; motivasipola asuh dan kasih sayang orang tua, dll.).
Baca Selengkapnya >>>

PEMIKIRAN

Ø URAIAN MATERI DAN CONTOH

A.  Definisi Pemikiran

Kata atau istilah pemikiran dalam bahasa Inggris disebut “inference” yang berarti penyimpulan. Kata/istilah pemikiran sering juga dianggap identik dengan kata/istilah “penalaran” (reasoning)

Menurut W. Poespoprodjo (1985), pemikiran ialah proses atau gerak mental (akal-pikiran) dari hal yang sudah diketahui (benar) ke hal yang belum atau tidak diketahui (benar), sehingga dengan pergerakan tersebut akal-pikiran mendapat suatu hal yang baru, pengetahuan baru, atau kebenaran baru. Sementara itu, menurut Hasbullah Bakry (1981), pemikiran adalah kegiatan akal pikiran manusia untuk mendapatkan kebenaran yang baru berdasarkan kebenaran-kebenaran yang (sebelumnya) telah ada.

Definisi-definisi pemikiran tersebut diatas memberikan petunjuk kepada kita, bahwa yang menjadi dasar dari pemikiran ialah “hal-hal  yang sudah diketahui” atau “hal-hal yang sebelumnya telah ada”, yang berbentuk atau terwujud sebagai keputusan (proposisi) atau kebenaran. Keputusan atau kebenaran yang menjadi dasar dari pemikirab ini lazim disebut “premis-premis” (antepremis), atau disebut pula “antecedent” (kata atau istilah premis secara etimologis berasal dari kata premissa dalam bahasa Latin, artinya: asumsi, postulat atau dasar argumentasi). Melalui pemikiran (proses berpikir), akal-pikiran segera melihat adanya hubungan dalam antecedent tersebut, yang akhirnya memunculkan: “hal baru”, “pengetahuan baru”, “keputusan baru” atau “kebenaran baru”,  yakni sesuatu yang secara niscaya muncul berkat adanya hubungan-hubungan dalam antecedent. Hal baru, pengetahuan baru, keputusan baru atau kebenaran baru, yakni sesuatu yang secara niscaya muncul berkat adanya hubungan-hubungan dalam antecedent itu disebut “kesimpulan” atau “konklusi” (conclution). Proses penyimpulan (proses penarikan atau pengambilan kesimpulan) dari hubungan-hubungan dalam antecedent disebut “konsekuen” (consequent). Adapun proses mental (gerak akal-pikiran) yang menghubungkan antecedent dan consequent dalam suatu ikatan logis yang termuat didalam pemikiran tersebut disebut “argumentasi” (argumentation).

STRUKTUR DAN UNSUR PEMIKIRAN

( STRUKTUR )                                           ( UNSUR )
I. Binatang berperasaan                                  Premis
                                                                                                            Antecedent
II. Kelinci adalah bianatang                             Premis
III. Jadi, Kelinci berperasaan                          Kesimpulan                 Consequent


            Bisa jadi, suatu pemikiran consequent-nya tepat, tetapi kesimpulannya salah. Contoh :



  Setiap manusia tidak fana
  Lusri adalah manusia
  Jadi, Lusri adalah tidak fana.




  Consequent-nya tepat, tetapi    
  kesimpulannya salah.


Bisa jadi juga, suatu pemikiran consequent-nya salah, tetapi kesimpulannya benar. Contoh :



  Manusia adalah ciptaan Tuhan
  Lusri adalah seorang manusia
  Jadi, Lusri dapat salah.




  Consequent-nya salah, tetapi  
  kesimpulannya benar.
B. Aturan-Aturan Dasar dalam Pemikiran

Yang dimaksud aturan-aturan dasar dalam pemikiran ialah seperangkat hukum atau norma tentang hubungan antara kebenaran premis-premis (antepremis) atau antecedent dengan kesimpulannya. Aturan-aturan dasar dalam pemikiran ini ada empat macam, yaitu :
1.    Apabila antecedent benar, kesimpulan harus juga benar (exvero nonnisi verum);
2.    Apabila antecedent palsu, kesimpulan bisa benar, bisa palsu (ex falso quodlibet);
3.    Apabila kesimpulan benar, antecedent dapat benar, dapat pula palsu;
4.    Apabila kesimpulan palsu, antecedent pasti juga palsu.

C. Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran

Prinsip-prinsip dasar pemikiran ialah asas-asas yang menjamin ketepatan, keseksamaan (corectness), dalam proses pemikiran dalam rangka untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Itulah sebabnya, ada juga yang menyebut prinsip-prinsip dasar ini sebagai “asas-asas pemikiran”.
Prinsip-prinsip dasar pemikiran tidak boleh dan tidak dapat diabaikan dalam proses pemikiran. Apabila orang mengabaikannya, maka akibatnya hanya kekeliruan (kesesatan), kesalahan, atau kekacauanlah yang akan didapatkannya.

1.    Prinsip identitas (principium identitatis)
Prinsip ini merupakan prinsip pengakuan bahwa suatu benda adalah benda itu sendiri, dan bukan benda lain; setiap benda identik dengan dirinya sendiri. (Rumusan dalam bahasa latin : Ens est Quod est).
Dalam logika, prinsip ini berarti: bila sesuatu sudah diakui (benar), maka juga harus diakui (benar) semua kesimpulan yang dibuat dari sesuatu yang sudah diakui (benar) tadi.

2.    Prinsip Pertentangan (principium contradictoris)
Menurut prinsip ini, apabila terdapat dua pernyataan atau keputusan yang saling bertentangan, sekalipun masing-masing menganggap dirinya benar, tidaklah mungkin kedua-duanya dianggap sama-sama benar pada saat bersamaan. (Rumusan dalam bahasa latin : Idem nequitsimul esse et non esse sub eodem respectu).
Dalam logika, prinsip ini mengandung arti: apabila orang telah mengakui sesuatu (benar), maka jangan kemudian menyimpulkan sesuatu yang berlawanan atau bertentangan dengan apa yang sudah diakui (benar) tadi.

3.    Prinsip Menolak Kemungkinan Ketiga (principium exclusitertii)
Menurut prinsip ini, bila terdapat dua pernyataan atau keputusan yang saling bertentangan, tidaklah mungkin kedua-duanya dianggap sama-sama benar dan/atau sama-sama salah pada saat yang bersamaan; pastilah salah satu diantaranya salah, tidak mungkin terdapat kemungkinan ketiga. (Rumusan dalam bahasa latin : Ens aut est aut non est).

4.    Prinsip Mencukupkan (principium rationis sufficientis)
Menurut prinsip ini, tiap-tiap keputusan baru merupakan akibat dari keputusan yang lalu (sebab). Kebenaran dari akibat tergantung pada kebenaran sebab. Artinya, jikalau keputusan yang menjadi sebab itu salah, maka keputusan yang menjadi akibat sudah barang tentu juga salah. (Rumusan dalam bahasa latin : Quid quid est, habet rationem sui sufficientem).

D. Klasifikasi Pemikiran

Para logisi (pakar logika) lazimnya membagi pemikiran menjadi dua macam yaitu : (i) Pemikiran Langsung dan (ii) Pemikiran Tidak Langsung.

1. Pemikiran Langsung (immediate inference)
Menurut Hasbullah Bakry (1981)  suatu pemikiran dikatakan sebagai pemikiran langsung apabila keputusan, kesimpulan atau kebenaran baru, yang diperoleh dari proses pemikiran itu hanya didasarkan atas satu keputusan atau kebenaran yang sebelumnya telah ada. Misalnya, aku tahu bahwa Nana pada tanggal 25 Desember 2008 tengah berada di Jakarta. Atas dasar itu, akupun segera berkesimpulan bahwa pada saat yang bersamaan (25 Desember 2008) Nana pastilah tidak ada di Jember.
Suatu cara pemikiran langsung yang paling penting dan terkenal ialah cara “pembalikan” (obversion), yaitu membalik keputusan atau kebenaran yang sebelumnya telah ada. Berikut ini dikemukakan beberapa contoh pemikiran langsung dengan cara pembalikan.

a.   -  Semua manusia akan mati.
Maka, tidak ada manusia yang tidak akan mati.

b.   -  Sebagian mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin.
- Tentunya, sebagian lain mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember malas.

2. Pemikiran Tidak Langsung
Pemikiran tidak langsung ialah pemikiran dimana keputusan baru, kebenaran  baru atau kesimpulan baru yang diperoleh dari proses pemikiran didasarkan atas :
a.    Keputusan-keputusan atau kebenaran-kebenaran yang bersifat umum (universal) yang sebelumnya telah ada;
b.    Kasus-kasus khusus atau unik, individual, dan konkrit;
c.    Fakta-fakta individual.
Sejalan dengan variasi dasar perolehan keputusan, kebenaran, atau kesimpulan, dalam pemikiran tidak langsung sebagaimana tersebut di atas, maka para logisi lazimnya membagi pemikiran tidak langsung menjadi tiga macam yaitu: (i) Induksi, (ii) Argumen kumulatif, dan (iii) Deduksi.

a.   Induksi
Induksi ialah suatu pemikiran yang kesimpulan atau kebenaran baru yang diperolehnya didasarkan atas kejadian-kejadian khusus atau fakta-fakta yang unik. Dalam kalimat lain dapat juga dirumuskan: induksi adalah suatu pemikiran yang proses gerak akal-pikiran berjalan dari/atas dasar pengetahuan-pengetahuan, keputusan-keputusan, atau kebenaran-kebenaran, yang khusus menuju pengetahuan, keputusan, atau kebenaran, yang umum.

            Di bawah ini disajikan sebuah contoh pemikiran induksi.
·         Tembaga adalah penyalur listrik
·         Besi adalah penyalur listrik
·         Perak adalah penyalur listrik
·         Emas adalah penyalur listrik
·         Jadi, kesimpulannya: semua logam adalah penyalur listrik.
         
          Setiap pemikiran induksi selalu memiliki tiga ciri khas. Pertama, bersifat “sintetis”. Artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan mensintesakan atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, “general”. Artinya, kesimpulan yang ditarik selalu meliputi/menjangkau jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga, “aposteriori”. Artinya, kasus-kasus khusus, individual dan konkrit yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi atau observasi empiris.
            Oleh karena ciri-ciri inheren-nya itu, setiap pemikiran induksi tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan karena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak. Suatu pemikiran induksi hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik, tergantung pada seberapa besar (tinggi) derajad probabilitas (kebolehjadian) yang diberikan premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak kasus sejenis yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulannya, berarti semakin baiklah pemikiran induksi tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit (kurang) kasus sejenis yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen, semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya, berarti semakin kurang baiklah pemikiran induksi tersebut.
           
            Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah dengan cermat dua contoh pemikiran induksi berikut ini.


A


B

Apel 1 keras, hijau masam rasanya

Apel 1 keras, hijau masam rasanya

Apel 2 keras, hijau masam rasanya

Apel 2 keras, hijau masam rasanya

Apel 3 keras, hijau masam rasany

Apel 3 keras, hijau masam rasanya

Jadi, semua apel keras, hijau masam rasanya.


Apel 4 keras, hijau masam rasanya


Apel 5 keras, hijau masam rasanya


Apel 6 keras, hijau masam rasanya


Jadi, semua apel keras, hijau masam rasanya.


Dari kedua contoh pemikiran induksi di atas, dapat dinyatakan bahwa pemikiran induksi (A) kurang baik jika dibandingkan dengan pemikiran induksi (B); atau, sebaliknya, pemikiran induksi (B) lebih baik daripada pemikiran induksi (A). Sebab, kasus sejenis (apel) yang dijadikan titik tolak atau landasan argumen pada pemikiran induksi (B) lebih banyak, sehingga dengan begitu semakin besar (tinggi) pula probabilitas kesimpulannya.

b.   Argumen Kumulatif
            Argumen kumulatif ialah suatu pemikiran yang kesimpulan atau kebenaran baru yang diperolehnya didasarkan atas fakta-fakta individual. Dalam kalimat lain dapat juga dirumuskan: argumen kumulatif adalah suatu pemikiran yang berdasar pada alasan-alasan yang menunjuk pada fakta yang sama sebagai satu-satunya penjelasan. Pemikiran argumen kumulatif, atau  yang sering juga disebut Konvergensi Kemungkinan-Kemungkinan, ini lazim digunakan dalam disiplin ilmu Sejarah.
            Untuk lebih memperjelas pengertian mengenai pemikiran argumen kumulatif, perhatikanlah contoh berikut ini. Sepuluh ahli sejarah sejaman dengan Kaisar Nero memberikan kesaksian bahwa Kaisar Nero mati bunuh diri. Taruhlah misalnya, masing-masing memberi kesaksian tanpa tergantung satu sama lain dan tidak ada pula motif-motif negatif yang terselib dalam kesaksian mereka. Singkat kata, kesaksian mereka obyektif. Lalu, penjelasan yang bisa diterima, yang disimpulkan dari kesaksian-kesaksian mereka, tidak lain adalah fakta Kaisar Nero benar-benar mati bunuh diri.

c.   Deduksi
Deduksi adalah suatu pemikiran yang perolehan keputusan, kebenaran baru, atau kesimpulannya, didasarkan atas keputusan-keputusan atau kebenaran-kebenaran yang bersifat umum (universal) yang sebelumnya telah ada. Atau, dapat juga dirumuskan, deduksi adalah suatu pemikiran dimana proses akal-pikiran bergerak dari/atas dasar pengetahuan, keputusan atau kebenaran yang umum menuju/untuk mencapai pengetahuan, keputusan atau kebenaran yang khusus (atau paling sedikit kurang umum).

Ada banyak cara untuk melahirkan bentuk pemikiran deduksi dan dalam praksis sering tidak teratur. Sebuah penjelmaan deduksi yang sempurna ialah apa yang disebut “silogisme” (asal kata sylogisma dalam bahasa Yunani, yang berarti : konklusi atau kesimpulan). Dalam silogisme, keputusan-keputusan (proposisi-proposisi) diatur sedemikian rupa sehingga hubungan-hubungannya menjadi jelas. Itulah sebabnya mengapa silogisme dikatakan sebagai penjelmaan deduksi yang sempurna, dan bahkan oleh W. Poespoprodjo (1985) dianggap sebagai bentuk pemikiran yang paling sempurna.

Menurut W. Poespoprodjo (1985), silogisme adalah suatu bentuk pemikiran dimana kita melalui aspek hubungan logis menyimpulkan dari suatu kebenaran umum ke kebenaran yang kurang umum. Sementara itu, menurut Hasbullah Bakry (1981) silogisme adalah suatu cara pengambilan kesimpulan (keputusan baru atau keputusan ketiga) dari dua macam keputusan yang mengandung unsur persamaan dan salah satunya harus universal, sehingga dengan demikian kebenaran dari keputusan baru atau ketiga yang merupakan kesimpulan itu sama dengan kebenaran yang ada dalam dua macam keputusan yang terdahulu.

Berikut ini disajikan sebuah contoh silogisme.
Keputusan I     : Segala sesuatu yang rohani tidak dapat musnah
Keputusan II    : Jiwa manusia adalah rohani
Keputusan III   : Jadi, jiwa manusia tidak dapat musnah.
           
Keputusan I dan II yang mewujudkan antecedent disebut “premis-premis silogisme”, sedangkan keputusan III disebut “kesimpulan” atau “konklusi”. Keputusan I dan II atau premis-premis silogisme merupakan titik tolak atau landasan pemikiran. Sementara keputusan III atau kesimpulan merupakan tujuan pemikiran.

Premis I disebut Premis Mayor, artinya premis yang didalamnya memuat terminus mayor (T) yakni term atau istilah yang akan menjadi predikat (P) kesimpulan. Premis II disebut Premis Minor, artinya premis  yang didalamnya memuat Terminus Minor (t) yakni term atau istilah yang akan menjadi subyek (S) kesimpulan. Sedangkan term atau istilah yang merupakan perantara, penghubung atau pembanding antara Terminus Mayor (T) dan Terminus Minor (t) disebut Terminus Medius (M) yakni term atau istilah perantara, penghubung, pembanding atau disebut juga term penengah.

STRUKTUR DAN UNSUR SILOGISME

                                                     (S)                    (P)
                                                Setiap manusia akan mati      (Premis Mayor)
                                                    (M)                    (T)
           Antecedent
                                                    (S)                     (M)
                                                Sumitro adalah manusia         (Premis Minor)
                                                     (t)                      (M)


                                                    (S)                     (P)
           Consequent     :          Maka, Sumitro akan mati        (Kesimpulan)
                                              (t)                       (T)


            Berdasarkan paparan dan contoh tentang silogisme tersebut diatas, maka dapat disimpulkan :
(1) Kekuatan silogisme sesungguhnya bertumpu pada hubungan term-term dalam premis-premis (antepremis) atau antecedent.
(2) Dengan silogisme kita bukannya hendak menentukan hubungan empirisnya, tetapi terutama hendak menentukan hubungan logisnya.

Setiap pemikiran deduksi senantiasa memiliki tiga ciri khas. Pertama, “analitis”. Artinya, kesimpulan ditarik hanya dengan menganalisis proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada. Kedua, “tautologis”. Artinya, kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam premis-premisnya. Ketiga, “apriori”. Artinya, kesimpulan ditarik tanpa berdasarkan pengamatan inderawi atau observasi empiris.

Secara umum, silogisme dibedakan menjadi dua macam yaitu : (i) Silogisme Kategoris dan (ii) Silogisme Hipotetis.

(1) Silogisme Kategoris (categorical syllogism)
Silogisme kategoris ialah silogisme yang terdiri dari tiga keputusan atau proposisi kategoris

Hukum Silogisme Kategoris :
(a)  Tum re, tum sensu, terminus esto triplex
Artinya: hanya diperbolehkan memiliki tiga buah term, yaitu terminus mayor, medius dan minor
(b) Latius hos quam praemissae conlusio non vult
Artinya: kesimpulan tidak boleh melebihi dari apa yang diijinkan oleh premis-premisnya.
(c) Nequaquam capiat medium conclusic fas est
Artinya : kesimpulan tidak boleh memuat terminus medius.
(d) Aut somel aut iterum, medium generaliteresto
Artinya : terminus medius dan/atau premis mayor harus universal distributive.
(e) Ultraque si praemissae neget, nihil inde sequitut
Artinya: antecedent atau premis-premis tidak boleh sama-sama negatif
(f)  Nihil sequitut geminis ex particularibus unquam
Artinya: antecedent atau premis-premis tidak boleh sama-sama partikular
(g) Ambae affirmantes nequeunt generare negantem
Artinya: apabila kedua premis afirmatif, maka kesimpulannya juga harus afirmatif atau tidak pernah negatif
(h) Pioerm sequitur semper conclusio partem
Artinya: kesimpulan tidak boleh lebih kuat daripada premis. Jadi, apabila salah satu premis negative, kesimpulan juga harus negative; apabila salah satu premis particular, kesimpulan juga harus particular.

Silogisme kategoris ada empat macam. Perbedaan dari tiap-tiap bentuk Silogisme kategoris itu terletak pada perubahan letak terminus medius (M) pada premis mayor dan premis minor.

I                                II                                  III                                    IV

  M                P             P               M                 M               P                  P              M
 





  S                M             S               M                 M               S                M               S
 

  S                P              S               P                  S                P                 S                P

   SUB-PRAE             PRAE-PRAE                  SUB-SUB               PRAE-SUB *)



---------------
* )  Istilah-istilah Sub-Prae, Prae-Prae, Sub-Sub, dan Prae-Sub, menunjuk fungsi terminus medius (M) di dalam premis-premis tiap-tiap bentuk. Sub  singkatan dari “subyek”, Prae singkatan dari “praedicatum” (predikat).
Bentuk I (disingkat: Sub-prae prima) artinya: M menjadi subyek dalam premis mayor, dan menjadi predikat di dalam premis minor. Aturan khusus :
“ Premis minor harus afirmatif, premis mayor universal “.
Contoh :   
Semua mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin.
                  -  Lusri adalah mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember.
                  -  Jadi, Lusri rajin.

Bentuk II (disingkat: Prae-prae secunda) artinya: M menjadi predikat di dalam premis mayor maupun premis minor.
Aturan khusus :
Sebuah premis harus negative, premis mayor universal “.
Contoh :    
Semua burung mempunyai sayap
                  -  Semua kambing tidak mempunyai sayap
                  -  Jadi, semua kambing bukan burung.

Bentuk III (disingkat: Sub-sub tertia) artinya: M menjadi subyek di dalam premis mayor maupun premis minor.
Aturan khusus :
“ Premis minor harus afirmatif, kesimpulan partikular “.
Contoh :   
Semua mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember rajin
      -  Sebagian mahasiswa FPIPS IKIP PGRI Jember sudah bekerja
      -  Jadi, sebagian dari orang yang sudah bekerja itu rajin.

Bentuk IV (disingkat: Prae-sub quarta) artinya: M menjadi predikat dalam premis mayor, dan menjadi subyek dalam premis minor.
Aturan khusus :
(a) apabila premis mayor afirmatif, premis minor harus universal;
(b) apabila premis minor afirmatif, kesimpulan harus partikular;
(c) jika salah satu premis negatif, premis mayor harus univer­sal.

Contoh :
Semua ABRI beruniform
      -  Semua yang beruniform gagah
      -  Jadi, sebagian dari yang gagah adalah ABRI.

Apabila keempat macam bentuk silogisme kategoris tersebut di atas kita kombinasikan, yakni dengan merubah aspek kualitas dan kuantitasnya, maka akan menghasilkan 19 (sembilan belas) kemungkinan kombinasi yang memenuhi syarat-syarat silogisme yang benar. Kesembilan belas kemungkinan kombinasi tersebut adalah :

(a) dari Bentuk I (empat macam kombinasi), yaitu :
M   a   P          M   e   P          M   a   P          M   e   P
S   a   m          S   a   M          S    i   M          S    i   M
S   a   P           S   e   P           S    i   P           S   o   P

(b) dari Bentuk II (empat macam  kombinasi), yaitu
P   e   M          P   e   M          P   a   M          P   a   M
S   a   M          S    i   M          S   e   M          S   o   M
S   e   P           S   o   P           S   e   P           S   o   P

(c) dari Bentuk III (enam macam  kombinasi), yaitu :
M  a  P                  M  e  P         M  a  P      M  I  P      M  o  P      M  e  P
M  a  S                  M  a  S         M  I  S       M  a  S     M  a  S      M   I  S

S  I  P        S  o  P          S  i  P        S   i   P     S  o  P      S   o  P

(d) dari Bentuk IV (lima  macam  kombinasi), yaitu :
      P  a  M                        P  i  M             P  a  M            P  e  M             P  e  M
      M  a  S                      M  a  S              M  e  S            M  a  S             M  i   S
     
      S   i  P             S   i   P            S   e  P            S   o  P            S  o  P


(2)  Silogisme Hipotetis (hypothetical syllogism)
Silogisme hipotetis ialah silogisme yang premis mayornya adalah keputusan (proposisi) hipotetis atau majemuk, dan premis minornya mengakui atau menolak salah satu bagian dari premis mayor.. Hasbullah Bakry (1981) secara singkat menyebut silogisme hipotetis ini sebagai “Silogisme Bersyarat”.

Hukum Silogisme Hipotetis :

(a) Mengakui syarat adalah mengakui yang disyaratkan
Contoh :
Jika Lusri bekerja, ia ada
Lusri bekerja
-  Jadi, ia ada.
Tetapi, waspadalah, jangan membalik hukum tersebut. Sebab, mengakui yang disyaratkan tidak berarti menga­kui syaratnya
Contoh :
Jika Lusri bekerja, ia ada
Lusri ada
-  Jadi, ia bekerja.
(Kesimpulan ini tidak sah, karena Lusri dapat ada dan ia  tidak bekerja).

(b) Menolak yang disyaratkan adalah menolak syarat
Contoh :
Jika Lusri bekerja, ia sehat
Ia tidak sehat
-  Jadi, ia tidak bekerja.
Tetapi, awaslah, jangan membalik hukum tersebut. Sebab, menolak syarat tidak berarti menolak yang disyaratkan.
Contohnya :
Jika Lusri bekerja, ia sehat
la tidak bekerja
-  Jadi, ia tidak sehat.
(Kesimpulan ini tidak sah, karena dapat terjadi Lusri sehat  dan tidak bekerja).
Silogisme hipotetis ada tiga macam bentuk, yaitu: (i) Silogisme Kondisional, (ii) Silogisme Disjungtif, dan (iii) Silogisme Konjungtif.

(a) Silogisme Kondisional
lalah silogisme yang premis  mayornya berupa keputusan atau proposisi kondisional (bersyarat).
Contohnya :
Apabila si pasien tidur, ia akan sembuh
la tidur
-  Maka, ia akan sembuh.

Silogisme  Kondisional memiliki dua  macam  corak, yaitu :

(1) Modus Ponens atau Modus Ponendo-Ponens
Yakni corak silogisme kondisional yang apabila antecedent-nya diakui pada premis minor, maka consequent-nya juga harus diakui pada kesimpulan.
Contohnya sama seperti contoh-contoh yang baru disebut diatas.

(2) Modus Tollens atau Modus Tollende-Tollens
Yakni corak silogisme kondisional yang apabila consequent ditolak pada premis minor, maka antecedent juga harus ditolak pada kesimpulan.
Contohnya :
Jika tadi malam hujan, jalannya pasti basah
Jalannya tidak basah
-  Jadi, tadi malam tidak hujan.

(b) Silogisme Disjungtif
Ialah silogisme yang premis mayornya berbentuk keputusan (proposisi) disjungtif.

Contohnya :
Kamu atau saya yang pergi
Kamu tidak pergi
-  Maka, sayalah yang pergi.

Silogisme disjungtif mempunyai dua macam corak, yaitu:

(1) Modus Ponendo Tollens
Yakni corak silogisme disjungtif yang mengakui satu bagian disjungtif pada premis minor, tetapi menolak bagian disjungtif lainnya pada kesimpulan.
Contohnya :
Planet bumi kita ini diam atau berputar
Planet bumi kita ini berputar
-  Berarti, planet bumi kita ini tidak diam.

(2) Modus Tollendo Ponens
Yakni corak silogisme disjungtif yang menolak satu bagian disjungtif pada premis minor, tetapi mengakui bagian disjungtif lainnya pada kesimpulan.
Contohnya :
-  Planet bumi kita ini diam atau berputar
Planet bumi kita ini tidak diam
-  Jadi, planet bumi kita ini berputar.
Baca Selengkapnya >>>